Implementasi Pajak Karbon Bisa Hambat Pemulihan Ekonomi Nasional

Ilustrasi polusi Udara.
Sumber :
  • VIVA / Aura Syifa Katarsis

VIVA – Pemerintah rencananya akan pajak karbon di Indonesia sebagai salah satu langkah mengatisipasi perubahan iklim. Kebijakan itu digodok melalui Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Kelima UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Genjot Inovasi Bagi Konsumen, Unilever Indonesia Fokus 3 Hal Ini

Rencana implementasi pajak karbon itu dinilai berisiko menekan daya beli masyarakat di masa depan. Hal itu juga kontraproduktif dengan misi Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

Sebab, Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, pungutan atas emisi karbon memiliki efek berganda yang signifikan. 

Tolak PPN Naik Jadi 12 Persen, YLKI Beberkan Ketidakadilan dalam Pemungutan Pajak

Termasuk risiko tergerusnya daya beli masyarakat karena harga jual beberapa barang yang dikenai pajak menjadi lebih mahal. Kebijakan ini pun dinilai dapat memperlambat pemulihan ekonomi terdampak COVID-19.

"Jadi kalau ekonomi baru mau pulih lalu dihajar dengan pajak pemulihannya bisa terhambat," kata Febby dikutip dari keterangannya, Rabu, 15 September 2021.

Industri Kripto Bersiap Diatur OJK, Pelaku Usaha Tak Perlu Urus Ulang Perizinan

Dia menjelaskan, kebijakan ini memiliki konsekuensi berupa meningkatnya ongkos produksi sejumlah produk manufaktur. Sebab, pajak karbon akan dikenakan kepada produsen atau menyasar sisi produksi.

Baca juga: Jokowi Bersyukur Pabrik Baterai Kendaraan Listrik Pertama RI Dibangun

Alhasil, produsen secara otomatis akan membebankan pajak tersebut kepada konsumen dengan menaikkan harga jual barang. akhirnya, masyarakat menjadi pihak yang harus menanggung beban pajak karbon itu.

Selain itu, kebijakan ini juga tidak selaras dengan strategi Pemerintah untuk menyehatkan ekonomi. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, khususnya menggenjot pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Menurut Fabby, kebijakan ini juga berpotensi menghambat ekspansi bisnis pelaku usaha di dalam negeri, karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal. Artinya ada risiko kebijakan ini memangkas realisasi penanaman modal terutama yang berasal dari dalam negeri.

"Harus dipikirkan dampak dari kebijakan ini kepada industri-industri tertentu, karena industri yang terkena harus mempersiapkan diri," kata Fabby.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menilai pajak karbon berpotensi menimbulkan fenomena the poor will be suffering. Yakni masyarakat yang lemah atau miskin akan lebih menderita.Menurutnya potensi itu bisa terjadi di sektor pertanian, 

"Di mana mayoritas petani di Indonesia banyak menggunakan pupuk yang mengandung emisi karbon," tambahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya