Harga Batu Bara Meroket, Ini Dampak Bagi Pemerintah dan Swasta

Batu Bara dari site BUMI, PT Kaltim Prima Coal, Sangatta, Kalimantan Timur.
Sumber :
  • Dok. BUMI

VIVA – Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, fenomena bersejarah naiknya harga batu bara hingga mencapai US$150,03 per ton, tentunya memberikan banyak peluang bagi Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor terbesar di dunia.

Kompaknya Satu Keluarga di Batu Bara Tidak Patut Dicontoh, Jadi Bandar dan Pengedar Narkoba

Salah satu hal yang sudah jelas menjadi peluang atau bahkan keuntungan bagi pemerintah Indonesia dengan kenaikan signifikan harga batu bara tersebut, antara lain yakni dari sisi perpajakan terkait transaksinya.

"Jadi kalau kita bicara masalah keuntungan, pastinya pemerintah mendapatkan royalti yang cukup signifikan dari masalah pajak yang dihasilkan dari transaksi (ekspor batu bara) ini," kata Mamit saat dihubungi VIVA, Selasa 7 September 2021.

Bahlil Ungkap PNBP Sektor Minerba Tumbuh Berkali-kali Lipat, Tembus Rp 170 Triliun

Kemudian dari sisi royalti pun Mamit memastikan bahwa pemerintah juga akan mendapatkan royalti yang lebih besar, karena harga batu baranya pun menjadi lebih tinggi dengan adanya kenaikan harga tersebut. 

Karenanya, dia pun memastikan bahwa kenaikan harga batu bara ini juga akan meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP), khususnya dari sektor minerba.

Kemenkeu Bakal Tambah Direktorat Baru Buat Gali Potensi PNBP

"Karena memang harganya ini sangat luar biasa. Ini adalah harga yang paling cukup tinggi, termasuk (mencatat) sejarah juga saat ini," ujarnya.

Dari sisi perusahaan-perusahaan batu bara, Mamit memastikan bahwa secara otomatis value mereka juga akan meningkat. Khusus perusahaan Tbk (terbuka), maka hal ini pun otomatis juga akan mengerek harga saham mereka. 

"Sehingga mereka akan mendapatkan keuntungan ataupun valuasi mereka juga akan meningkat. Otomatis nilai perusahaan nya ini juga akan jauh lebih tinggi," kata Mamit.

Di sisi lain, kenaikan harga batu bara ini juga akan mendorong optimalisasi produksi. Meskipun, Mamit mengaku khawatir soal pemenuhan komitmen Domestic Market Obligation (DMO) atau Kewajiban Pasar Domestik, yang harus dijalankan oleh para perusahaan batu bara tersebut.

"Namun saya punya kekawatiran, karena batu bara di dalam negeri akan dipatok US$70, khawatirnya nanti ada banyak permainan dalam artian komitmen DMO-nya ini tidak dipenuhi oleh pengusaha batu bara," ujar Mamit.

Walaupun, lanjut Mamit, pemerintah saat ini juga sudah membuat aturan dan ketentuan, yakni di mana perusahaan yang tidak memenuhi DMO-nya maka mereka tidak boleh melakukan ekspor batu bara.

"Itu sudah cukup bagus saya kira untuk melindungi PLN. Karena bagaimanapun batu bara saat ini merupakan energi primer terbesar di pembangkit milik PLN karena hampir semuanya PLTU. Jadi batu baranya juga masih dibutuhkan sangat banyak," ujarnya.

Diketahui, sebelumnya Kementerian ESDM menyatakan bahwa permintaan batu bara di China terus meningkat akibat naiknya kebutuhan untuk pembangkit listrik yang melampaui kapasitas pasokan batu bara domestik.

Kondisi ini berhasil mendongkrak harga batu bara acuan (HBA) pada September 2021, yang memecahkan rekor hingga menembus angka US$150,03 per Ton. Angka ini naik US$19,04 per ton dibanding HBA bulan Agustus 2021 yang mencapai angka 130,99 per ton.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya