Kritik Syarat Penerbangan, Alvin Lie dan YLKI: Terkesan Diskriminatif

Pengamat Penerbangan Alvin Lie (kedua dari kiri).
Sumber :
  • VIVA/Sherly (Tangerang)

VIVA – Pengamat Penerbangan Alvin Lie menyoroti adanya regulasi yang kerap berubah dalam mengatur masyarakat untuk bisa menggunakan transportasi udara di tengah pandemi COVID-19.

Jangan Bawa Barang Ini ke Kabin Pesawat Jika Tidak Mau Repot di Bandara!

Hal ini terlihat sejak awal pandemi COVID-19, di mana terlihat regulasi yang cepat berubah khususnya pada penerbangan domestik. Seperti, penumpang pesawat diminta menyertakan hasil negatif COVID-19 dengan metode Rapid Tes Antibodi. Dan, tidak lama kemudian menjadi Swab Antigen.

Namun, setelah vaksinasi digencarkan, kini penumpang pesawat wajib melakukan tes PCR sebagai salah satu syarat selain vaksinasi.

Harga Tiket Pesawat Turun saat Nataru Angin Segar Konsumen RI

"Ada aturan yang terkesan diskriminatif terhadap transportasi udara. Salah satunya adalah persyaratan hasil negatif COVID-19 dengan metode PCR Test dan wajib vaksin bagi penumpang pesawat,” katanya dalam diskusi di Tangerang, Kamis, 26 Agustus 2021.

Baca juga: Polisi Tangkap Yahya Waloni

Pemerintah Kalimantan Timur Gandeng Malaysia Buat Kendalikan Dengue

Menurutnya, syarat untuk perjalanan udara seharusnya disamakan dengan moda transportasi lain. “Moda transportasi yang paling banyak yang digunakan itu kan (tranportasi) darat, tapi justru paling longgar, tidak disiplin," imbuh dia.

Dia melanjutkan, pemerintah juga seharusnya mengapresiasi juga bahwa transportasi udara selama ini paling ketat dan paling disiplin. Juga alat angkutnya ini, sebelum pandemi juga sudah dilengkapi HEPA filter, kemudian ada peraturannya penerbangan di bawah 2 jam tidak boleh makan, tidak boleh bicara, harus pakai masker.

Selain menyamakan persyaratan bagi pengguna transportasi udara, pemerintah juga diharapkan untuk mengampanyekan bahwa terbang itu aman. Karena, dengan adanya sejumlah persyaratan untuk penumpang transportasi udara terkesan bahwa terbang tidak aman.

"Dengan regulasi yang diskriminatif ini justru menambah kesan publik bahwa terbang itu tidak aman. Percuma saja menteri pariwisata mempromosikan daerah wisata tapi tidak mempromosikan penerbangan. Padahal daerah-daerah wisata itu membutuhkan tranportasi udara," ujarnya.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menambahkan, pemerintah terkesan diskriminatif terhadap sektor transportasi udara yang sangat merugikan konsumen.

"Seharusnya memang pemerintah tidak seharusnya memberikan satu kebijakan yang diskriminatif pada sektor udara. Karena toh, ketika sektor udara dibatasi dengan ketat khususnya dengan tes PCR dan segala macam kemudian sektor lainnya tidak, mobilitas juga sama saja," ujar Tulus.

Dia melanjutkan, mobilitas jadi tidak terkendali dan akhirnya di satu sisi ingin membatasi penerbangan untuk membatasi mobilitas tapi mobilitas transportasi lain tetap jalan.

“Dengan adanya kebijakan yang sangat dinamis atau dalam bahasa terangnya adalah berubah-ubah, itu jelas sangat merisaukan konsumen dan sangat merugikan konsumen," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum SEKARPURA II Trisna Wijaya mengatakan, selama pemberlakuan PCR bagi penumpang pesawat, banyak masyarakat yang urgent dikarenakan kemalangan, keluarga sakit kritis atau urgensi lainnya tidak dapat langsung menggunakan transportasi udara dan harus menunggu beberapa hari.

"Ada 2 hal yang disoroti oleh kami, yang pertama keluhan penumpang terhadap persyaratan penerbangan yang sangat sering berubah. Terlalu mahal, terlalu lama hasilnya, terlalu membingungkan dan keluhan lainnya. Selain diwajibkan vaksinasi, namun juga harus PCR," ungkapnya. 

Alhasil diharapkan, pemerintah dapat dengan bijak menentukan syarat atau regulasi bagi masyarakat yang hendak melakukan perjalanan menggunakam transportasi udara. Di mana, dengan tidak membedakan, atau mengubah-ubah aturan dalam waktu yang cepat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya