Warga Perdesaan di Madura Kembali Pakai Kayu Bakar untuk Memasak

Ilustrasi tungku kayu bakar dari tanah liat.
Sumber :
  • ANTARA

VIVA – Sebagian warga di perdesaan Pamekasan, Madura, Jawa Timur, menyiasati kebutuhan ekonomi rumah tangga mereka pada masa pandemi COVID-19 ini, dengan cara beralih memasak menggunakan tungku kayu bakar.

ODGJ Berjilbab Bawa Pisau Gegerkan Gereja di Surabaya, Ini Fakta-faktanya

"Selain lebih murah, karena kayu banyak didapat di sekitar pekarangan rumah, juga lebih irit dibanding memasak dengan menggunakan elpiji," kata warga pengguna tungku kayu bakar di Desa Gagah, Kecamatan Kadur, Pamekasan Ariyanti, Kamis, 19 Agustus 2021.

Sejak pandemi COVID-19 gelombang kedua terjadi, ibu rumah tangga di Dusun Daporah, Desa Gagah, Kecamatan Kadur, Pamekasan, itu sengaja memasak menggunakan tungku kayu bakar yang terbuat dari tanah liat.

Kutuk Aksi Carok di Madura, Ulama Bangkalan Desak Proses Hukum segera Dilakukan

Penurunan pendapatan keluarganya dari hasil berjualan makanan, menurut dia, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi omzet penjualannya kini menurun hingga 70 persen, dibanding sebelumnya.

Tidak hanya Arianti, sejumlah ibu rumah tangga lainnya di dusun ini juga melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan Busiyah.

Tragedi Carok Maut di Sampang, 3 Terduga Pelaku Sudah Ditangkap

Ibu tiga orang anak ini mengaku, tungku elpiji miliknya tetap ada. Tapi hanya ia gunakan untuk kepentingan mendesak saja, seperti untuk memasak air, jika sedang ada tamu, sedangkan untuk memasak nasi dan berbagai kebutuhan sehari-hari, perempuan paruh baya ini mengaku menggunakan tungku kayu bakar.

"Kalau tidak begitu, bagaimana kita bisa bertahan. Suami saja sulit untuk mendapatkan pekerjaan, sejak COVID-19," kata Busiyah.

Perajin tungku kayu bakar, Marsiyah, mengaku bahwa sejak pandemi COVID-19 berlangsung, pesanan membuat tungku kayu bakar memang cenderung meningkat. Umumnya pemesan beralasan untuk mengirit pengeluaran keuangan keluarga.

Dalam sebulan, Marsiyah bisa menjual tungku kayu bakar antara lima hingga enam buah, dengan harga  Rp40 ribu hingga Rp50 ribu per satu tungku, bergantung pada besar dan kecilnya tungku.

"Kalau sebelum [wabah virus] corona, tidak ada yang pesan. Sejak corona ini banyak orang pesan, karena ingin irit. Kalau tungku kayu seperti ini kan hanya sekali biaya. Tapi kalau tungku untuk elpiji itu, kalau gasnya habis, beli," ujar ibu dua orang anak itu.

Desa Gagah merupakan satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Kadur, Pamekasan. Umumnya warga di desa ini merupakan petani.

Sejak pandemi COVID-19 melanda, warga mengaku sangat kesulitan untuk mencari uang, meski persediaan kebutuhan pangan cukup, karena warga biasa menyimpan hasil pertanian mereka di tempat penyimpanan khusus atau yang dikenal dengan istilah "dhurung" oleh warga setempat.

"Bagi kami uang Rp10 ribu itu sangat berarti. Makanya, daripada digunakan untuk membeli elpiji terus menerus, warga di sini lebih memilih membeli tungku kayu bakar, sebab hanya sekali beli saja, dan setelah itu tidak mengeluarkan uang lagi," kata Marsiyah.

Bupati Pamekasan Baddrut Tamam sebelumnya dalam Rapat Pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menegah Daerah (RPJMD) secara daring mengaku, pertumbuhan ekonomi Pamekasan pada masa pandemi COVID-19 memang sangat mengkhawatirkan, bahkan minus lebih dari 2 persen.

"Ini terjadi, karena semua sektor terdampak, baik sosial, politik dan ekonomi, dan ekonomi minus ini bukan hanya di Pamekasan saja, akan tetapi juga terjadi di tingkat provinsi, bahkan nasional," kata Bupati kala itu.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, di antaranya berupa bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial tunai (BST), Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan modal usaha kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah.

"Di samping memberikan stimulus, pemerintah juga berupaya sekuat tenaga untuk mencegah penyebarannya melalui penegakan disiplin protokol kesehatan," katanya. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya