Tergesa-gesa, Revisi Aturan PLTS Atap Bisa Bobol Keuangan Negara

Instalasi solar cell atau PLTS di Pesantren Wali Barokah Kediri
Sumber :

VIVA – Penolakan pada rencana Pemerintah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen kian meluas. Hal itu, karena banyak instansi terdampak atas revisi aturan PLTS Atap yang tergesa-gesa tersebut.

PPN Jadi 12 Persen Ditegaskan Tak Bikin Daya Beli Loyo, Ekonom Ungkap Perhitungannya

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto mengatakan Kementerian ESDM harus menimbang secara matang rencana mengubah aturan PLTS Atap meski alasannya demi meningkatan kapasitas penggunaan PLTS Atap secara masif. 

Dia khawatir aturan pengganti nanti jadi celah bagi pengusaha nakal untuk terjun ke sektor ketenagalistrikan melalui cara yang tidak tepat. Sebab, revisi tidak melibatkan pemangku kepentingan terkait, khususnya PLN dan Kementerian Keuangan. 

BTN Syariah Ekspansi Bisnis Gandeng Kampus Jelang Spin-Off

Baca Juga: Belanja di RAPBN 2022 Sebesar Rp2.708,7 Triliun, Ini Rinciannya
 
"Kami (Komisi VII) akan tanyakan dalam raker dengan Menteri ESDM. Dari semua pihak yang terkait dengan PLTS Atap, yang terkait PLN akan menjadi pihak yang akan dirugikan. Sudah utangnya banyak, mesti membeli lagi listrik dari PLTS Atap yang mayoritas punya orang-orang kaya di perkotaan. Padahal pasokan listrik di kota kan oversupply," ujar Mulyanto saat diskusi dengan editor energi secara virtual, Rabu 18 Agustus 2021. 

Menurut dia, jika pemerintah ingin mendorong energi baru dan terbarukan (EBT) dan menggerakkan minat masyarakat maka pemerintah harus fasilitasi, seperti ada insentif atau regulasi yang mendukung. 

Industri Serap 43% Kebutuhan Listrik, Kadin Dorong Kemitraan Swasta dalam RUKN 2024-2060

Rancangan permen ESDM soal PLTS Atap dinilai bagus untuk mendorong produksi listrik EBT. Namun bila yang menikmati regulasi ini pelanggan di wilayah Jawa-Bali-Sumatera yang surplus listrik, apalagi di perumahan mewah di kota besar, selain PLN akan semakin buntung juga melukai rasa keadilan. 

“Surplus listrik makin bertambah, mesin argo TOP (take or pay) makin tinggi, plus PLN harus bayar tambahan selisih ekspor-impor listrik PLTS sebesar 35 persen tarif. Karena sekarang ini tarif ekspor-impor=1:0.65,   sedangkan yang menikmati adalah rumah mewah orang kaya di kota,” ujarnya.
 
Seharusnya, lanjut Mulyanto, dalam aturan tersebut ada batasan, misalnya, hanya berlaku di daerah minus listrik dan diproduksi oleh lembaga sosial seperti pesantren, lembaga pendidikan, rumah sakit dan sejenisnya. 

“Bukan dari rumah mewah di kota yang surplus listrik lagi,” katanya.

Menurut Mulyanto, pengembangan PLTS Atap di wilayah yang surplus dinilai tidak ada urgensinya dan tidak tepat. Sehingga, hal itu dinilai sangat mubazir dan pastinya produknya akan tidak bagus.

“Kalau ini dijadikan alat marketing, bisa-bisa ditengarai mereka yang mendorong permen ini. Apalagi dimasa pandemi, ini jadi ketidakadilan. Rumah mewah sekian miliar dengan PLTS Rooftop,” katanya.  

Untuk itu, dia meminta pemerintah melihat objektif kewajaran produksi listrik di setiap tempat. Besaran itu ditentukan oleh kewajaran kebutuhan dimana listrik itu diproduksi. 
 
Hal ini, kata Mulyanto, perlu diatur agar tidak ada pengusaha membonceng Permen ini untuk kepentingan bisnisnya. Tidak sedikit ditemukan pengembang perumahan mewah menjadikan fasilitas PLTS Atap sebagai bahan jualannya. 
 
“Secara ekonomi kondisi ini tentu tidak adil. Masak Pemerintah memberi subsidi kepada masyarakat yang mampu. Sementara di wilayah terpencil lainnya masih ada masyarakat yang belum dapat menikmati listrik," katanya. 

Sedangkan, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Haeron, mengatakan ke depan energi baru dan terbarukan (EBT) harus menjadi sumber energi bagi masyarakat. 

Dia mengakui investasi di EBT mahal, karena itu, dalam mencapai target bauran energi, pemerintah harus ambil bagian apakah melalui APBN atau BUMN.

Kemudian, terkait draf revisi Permen ESDM soal PLTS Atap, Herman menilai, sepanjang belum ada UU-nya bisa menjadi aturan pelaksanaan penggunaan energi berbasis PLTS Atap. Jika regulasi itu berdampak negatif bagi BUMN, kembali lagi kepada pemerintah. 

“Jika ada penugasan yang berpotensi merugikan BUMN, harus disertai dengan adanya kompensasi,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya