Keekonomian Investasi Rendah, Pengamat: PLTS Atap Cuma Pencitraan

Fasilitas solar panel di bandara kelolaan Angkasa Pura II.
Sumber :
  • Dokumentasi AP II.

VIVA – Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau PLTS Atap di Indonesia dinilai hanya bersifat international image builder atau pencitraan. Hal itu guna menjaring investor bahwa Indonesia sedang menjalankan greenhouse gas policy.

Ketersediaan Lahan dan Infrastruktur, Kupang Siap Terima Investor

Kebijakan itu dilakukan untuk mencapai Nationally Determined Contributions (NDC) dari Paris Agreement tanpa diiringi dengan situasi pasar yang memang mengarah pada perbaikan ekosistem pasar ke energi baru terbarukan (EBT).

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satiyakti, menilai kebijakan solar cell untuk rooftop yang masif bagus dikembangkan di Indonesia demi menurunkan ketergantungan listrik berbahan bakar fosil. 

Dorong Laju Investasi di Ngawi, Bea Cukai Terbitkan Izin Fasilitas Kawasan Berikat

Baca Juga: Belum Sepekan di Blok Rokan, Pertamina Kapalkan 350 Ribu Barel Minyak

Akan tetapi, kata dia jika berkaca pada pasar yang relatif berhasil mengembangkan teknologi ini, yaitu Uni Eropa, hal yang dilakukan Indonesia agar inovasi yang baik ini menjadi sukses, harus memenuhi beberapa catatan.  
Catatan itu pertama, terkait permintaan dari rooftop PV atau PLTS Atap, apakah kesediaan orang Indonesia menggunakan teknologi ini sudah tinggi atau belum. 

Mengenal Istilah 'Latte Factor' yang Bikin Gen Z dan Milenial Makin Boncos

Sebab, teknologi yang digunakan rumah tangga atau konsumen memang memiliki literasi yang baik untuk menggunakan teknologi ini, seperti literasi lingkungan akan green economy atau green investment. 

“Maka jawabannya yaitu economic incentives. Apakah benefit menggunakan teknologi bagi rumah tangga akan lebih banyak dibandingkan cost of investment and maintenance dari penggunaan teknologi ini,” ujar Yayan, dalam keterangannya, Selasa 17 Agustus 2021.  

Lalu kedua, terkait investasi yang efisien untuk roofsolar PV tidak mudah. Yayan mencontohkan, di beberapa negara seperti Perancis, Jerman, Spanyol atau Italia Levelised Cost of Electricity (LCOE) kurang lebih 20 Eurocent/kWh, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan LCOE di Hungaria, Bulgaria, Romania, dan Estonia yang hanya 5-10 Eurocents/kWh pada 2017. 

Namun, harganya terus turun dalam jangka waktu tiga tahun sebesar 50 persen menjadi 5-10 Eurocent/kwH. “Artinya pengembangan R&D untuk teknologi rooftop PV di Eropa sangat signifikan menurunkan LCOE selama periode 2017-2019,” katanya.

Menurut Yayan, jika melihat pada tarif dasar listrik (TDL) Indonesia harga akhir listrik di Indonesia berada di kisaran 6-8 Eurocents/kWh berdasarkan informasi dari PT PLN untuk TDL April–Juni 2021. 

“Kita dapat bayangkan ini harga konsumsi akhir, jika kita bandingkan dengan harga rooftop di EU harga tersebut adalah ongkos produksinya, jadi mereka akan jual di kisaran 9-10 Eurocents/kWh. Keekonomian TDL harga listrik saat ini tidak mendukung keekonomisan dari investasi teknologi rooftop PV,” ungkap Yayan.
 
Berdasarkan hasil perhitungan di EU, lanjut Yayan, WACC (Weight Cost of Capital) untuk investasi rooftop berada di 7 persen sedangkan di Indonesia WACC atau IRR keekonomian di atas 10 persen. 

“Di sini ada kesenjangan antara daya beli vs price, investment vs economic price, harusnya investment = price sehingga price = daya beli (purchasing power),” kata Yayan.

Menurut kalkulasi Laboratorium Sistem Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB), jika tarif PLTS Atap tetap 100 persen atau Rp1.444,3 per KWh dan diikuti penambahan kapasitas 1 GW tiap tahun, hingga 2030 akan ada kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) Rp11,3 per KWh atau Rp42,5 triliun selama sembilan tahun. 

Sementara, Pakar Energi dan Guru Besar Institut Teknologi 10 November Surabaya, Mukhtasor, menambahkan pemerintah harus tanggung jawab dari konsekuensi keputusan yang diambil terkait rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri terkait PLTS Atap. 

Menurut dia, salah satu klausul yang kontroversial adalah kewajiban PLN untuk membeli 100 persen listrik dari PLTS Atap dari sebelumnya 65 persen.

“Rencana penerbitan Permen ESDM soal PLTS Atap terburu-buru. Harusnya pihak terkait memberikan masukan dalam penyusunan Permen terkait revisi PLTS Atap. Jika ada informasi yang tidak match, pihak independen dilibatkan,” ujar Mukthtasor.

Menurut dia, apa pun keputusan nanti dalam Permen ESDM terkait PLTS Atap, keputusan itu diambil harus sudah memperhitungkan konsekuensi dan ada mitigasinya. 

“Kalau ditetapkan 1:1 harus ada kompensai kepada PLN. Berapa beban kompensasinya? Begitu juga kalau 1:0,65, berapa kompensasi yang diberikan?,” katanya. 

Artinya, lanjut Mukhtasor, APBN harus disiapkan untuk menanggung konsekuensi dari keputusan tersebut. Dana APBN harus disiapkan untuk kuota tertentu. 

“PLTS Atap kan marak untuk kota besar, khususnya Jakarta. Padahal, yang pas itu pengembangan PLTS yang digunakan untuk menggantikan pembangkit diesel yang kebanyakan dibangun/dipasang di daerah. Sebaiknya fokus ke PLTS bukan ke PLTS Atap. Itu hanya menguntungkan orang kaya,” kata dia. 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya