Soal Revisi Aturan PLTS Atap, IRESS Soroti Perburuan Rente

Instalasi solar cell atau PLTS di Pesantren Wali Barokah Kediri
Sumber :

VIVA – Pemerintah sedang merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN. Revisi tersebut dilakukan untuk mendorong masyarakat mau memasang PLTS Atap di rumah atau kantornya secara massif.

8 Rekomendasi IAGL–ITB untuk Kemandirian Energi, Dany Amrul Dorong Peran Penting Kampus

Namun, dalam revisi tersebut Pemerintah diminta tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik dan berbagai kepentingan strategis nasional.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai rencana revisi Permen ESDM Nomor 49 tahun 2018 oleh pemerintah itu lebih fokus pada pertimbangan aspek ekonomi dan bisnis. 

Tameng Ubah Desa di Malang Ini Jadi Pusat Hortikultura Modern

Dengan begitu, lanjut dia, jika berbagai aspek strategis di atas belum terpenuhi secara harmonis dan seimbang, maka revisi Permen harus ditunda terlebih dahulu.

"Ditengarai motif investasi, bisnis dan perburuan rente lebih mengemuka dibanding kepentingan keadilan, kebersamaan dan keberlanjutan pelayanan BUMN. Terlihat dari upaya Kementrian ESDM yang memaksakan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1," katanya dalam keterangan persnya, Selasa 17 Agustus 2021. 

Harus Ada Kompensasi dari Kenaikan Pajak

Saat ini, lanjut dia, ketentuan tarif net-metering dalam Permen ESDM No.49/2018 adalah 1:0,65. Artinya, jika saat konsumen mengkonsumsi atau mengimpor listrik dari PLN adalah X per kWh, maka pada saat konsumen mengekpor listrik dari storage di rumah ke jaringan PLN tarifnya 0,65X. 

Tarif ekspor listrik konsumen ke PLN memang lebih rendah dibandingkan dengan tarif impor konsumen dari PLN, karena PLN harus menyediaan berbagai sarana pelayanan. Maka dari itu, perubahan tarif ekspor-impor dari 0,65:1 menjadi 1:1 akan merugikan konsumen dan PLN. 

Ia menuturkan, sebenarnya tarif ekspor-impor 0,65:1 sesuai Permen No.49/2018 sudah cukup memadai dan menguntungkan konsumen, terutama gaya hidup sebagai pengguna energi bersih dapat diraih bersamaan dengan tagihan listrik yang lebih murah. 

Menurutnya, kajian akademis terbaru oleh sejumlah pakar energi menyatakan bahwa tarif ekspor-impor listrik yang wajar dan adil adalah 0,56:1. Karena telah terlanjur membuat aturan tarif ekspor-impor 0,65:1, maka cukup layak jika pemerintah mempertahankan dan konsumen pun memaklumi. 

"Jika tarif ekspor-impor diubah menjadi 1:1, maka berbagai fasilitas PLN tidak pernah diperhitungkan sebagai faktor penting dalam proses ekspor-impor listrik antara konsumen PLTS Atap dengan PLN," tambahnya. 

Sementara itu, kewajiban PLN membeli listrik PLTS Atap memaksa negara membayar kompensasi berupa selisih biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLTS yang nilainya sekitar Rp1.400/kWh dengan BPP PLTU yang nilainya sekitar Rp900/kWh. 

Marwan mengungkapkan, hal tersebut jelas semakin memberatkan APBN. Meskipun disebut dana kompensasi, namun pada dasarnya dana tersebut merupakan subsidi energi. 

"Ironisnya, subsidi tersebut malah dinikmati para pihak yang diberi kesempatan berbisnis melalui tarif ekspor-impor liberal 1:1, atas nama energi bersih dan target EBT 23 persen," ujarnya. 

Padahal, penyediaan PLTS hanya memanfaatkan porsi TKDN maksimum 40 persen. Sisanya komponen impor, terutama dari China. Sehingga, penggunaan PLTS Atap digalakkan, sementara industri atau pabrik sel solar sebagai komponen utama PLTS tidak berkembang atau justru dihambat berkembang.

"Maka yang terjadi adalah bocornya kompensasi atau subsidi APBN ke produsen solar PV di luar negeri," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya