Mengintip Potensi Panas Bumi Jadi Backbone Energi Nasional

Instalasi sumur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Anis Efizudin

VIVA – Banyaknya dukungan pemerintah seperti insentif maupun penetapan tarif yang menarik bagi investor dinilai mampu mendorong panas bumi sebagai backbone energi nasional. Panas bumi juga berpotensi menjadi andalan dalam transisi energi dari energi fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT). 

Industri Serap 43% Kebutuhan Listrik, Kadin Dorong Kemitraan Swasta dalam RUKN 2024-2060

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan panas bumi untuk Indonesia tergolong lebih agresif dibanding negara lain. Saat ini kapasitas PLTP nasional mencapai 2.175 MW dan baru ada tambahan dari PLTP Sorik Marapi. 
 
Menurut dia, meski bisa dikatakan agresi namun ada beberapa tantangan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia, yakni terkait lingkungan, dan status kawasan hutan. 

Baca Juga: Analisa Arcandra Soal Tesla Pilih Nikel dari Australia Ketimbang RI

Mendorong Penerapan Energi Baru Terbarukan

"Tantangan sampai kapanpun akan ada, dinamika masyarakat juga semakin kuat, tapi dengan sinergi berbagai pihak dapat dikelola dengan baik tantangan tersebut,” kata Dadan dalam diskusi bertajuk Urgensi Transisi Energi ke Panas Bumi yang digelar E2S, secara virtual, Kamis 29 Juli 2021.

Pemerintah, lanjut dia, akan mendukung pengembangan panas bumi dengan berbagai insentif yang dimungkinkan. Tarif yang yang sekarang sedang disusun pemerintah, khususnya dalam bentuk Peraturan Presiden. 

Wujudkan Visi Asta Cita, PLN IP Pacu Pengembangan Energi Panas Bumi

“Kami pastikan balik modalnya cepat, tapi juga memaksimalkan kemampuan negara, sehingga angka tidak stay di angka yang tinggi. Sedang dipikir, saya ingin seperti yang di migas, ada komitmen untuk menambah cadangan,” ungkap Dadan.  

Sedangkan, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero), Riki F. Ibrahim mengatakan tantangan pengembangan panas bumi adalah harga EBT yang masih harus bersaing dengan pembangkit fosil.

Selain itu, Riki juga menilai masih terbatasnya lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman dalam fase eksplorasi, lalu banyak pengembangan yang belum memenuhi 5C (charakter, capacity, capital, condition dan collateral), risiko dalam masa eksplorasi sangat tinggi, trasparansi dan jangka waktu penerbitan izin pengaruhi keekonomian proyek. 

“Saya sampaikan untuk eksplorasi panas bumi itu risikonya tidak sebesar migas. Khusus di lapangan di Indonesia, termasuk yang baru, dari sisi risiko itu 40 persen, tidak begitu besar,” katanya. 

Sementara, Anggota Komisi VII DPR, Dyah Roro Esti Widya Putri, mengatakan transisi energi tidak semata-mata langsung dikonvert ke EBT, ada proses yang harus dilalui. 

Ia menuturkan, tidak dipungkiri sektor migas masih menjadi penopang ekonomi negara. namun jangan sampai closed minded dan tidak bergerak dari zona nyaman.  

Dyah mengatakan lebih dari 130 negara di dunia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2050. Indonesia perlu segera menentukan target dicapainya net zero emission

Hingga kini, lanjut dia, masing-masing kementerian masih memiliki target berbeda beda, KLHK 2060, Bapenas 2045-2070, dan PLN 2060. 

“Kita harus punya frame yang sama untuk target transisi energi,” tegasnya.  
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya