Syarat UMKM Jadi Motor Ekonomi Harus Tahan Banting, Begini Caranya
- Pixabay
VIVA – Keilmuan pendidikan vokasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dinilai memiliki keterkaitan yang sangat erat satu sama lain. Keduanya pun menjadi tumpuan penciptaan lapangan kerja sekaligus menciptakan sumber daya yang andal dengan kehlian khusus yang siap kerja.
UMKM sendiri saat ini merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Namun pandemi COVID-19 memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan UMKM saat ini.
Ketua Umum CEO Business Forum, Jahja Sunarjo mengungkapkan, berdasarkan data yang dimiliki, dari 64 juta UMKM di Indonesia, sekitar 78 persen sudah di ambang kegalauan atau kesusahan terdampak pandemi.
Baca juga: Sistem CEISA Down, Bea Cukai: Layanan Kepabeanan Terganggu Signifikan
“Pemerintah sudah habis-habisan mempertahankan ekonomi, tapi ternyata tidak cukup,” ujar dia dalam webinar bertema 'Solusi Riset Terapan Vokasi Untuk Resiliensi UMKM', dikutip Jumat, 16 Juli 2021.
Menurut Jahja, langkah Pemerintah memprioritaskan penyelamatan UMKM dan koperasi adalah hal yang tepat. Karena, keduanya bakal menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia dalam 5-10 tahun ke depan.
“Kekuatan ekonomi tidak akan lagi bergantung pada konglomerasi, tapi pada koperasi dan UMKM,” ujar dia.
Sementara itu, Director of Business & Marketing SMESCO Indonesia, Wientor Rah Mada mengatakan, untuk jadi tulang punggung perekonomian, UMKM harus tahan banting menghadapi segala situasi. Karena itu, digitalisasi menjadi salah satu cara membuat UMKM di Indonesia lebih resilience dan survive.
Sampai saat ini menurutnya, baru 13,7 juta UMKM yang onboard digital. Pemerintah pun terus berupaya melakukan pembimbingan dan dan pelatihan agar jumlah itu terus bertambah.
"Kami dari Kemenkop UKM sedang mendorong agar jumlah UMKM yang onboard digital mencapai 30 juta di tahun 2024. Tapi, definisi digital ini berbeda-beda antara usaha mikro, kecil, dan menengah,” jelas dia.
Selain digitalisasi, kemampuan riset juga menjadi salah satu syarat UMKM untuk dapat berkembang dan berekspansi. Sayangnya, menurut Wientor, para UMKM ini sudah terlalu sibuk dengan produksi mereka sehingga tak sempat untuk riset.
“Karena itu, untuk membantu proses riset mereka, dibutuhkanlah pihak ketiga seperti dari vokasi atau akademisi,” ujar Wientor.
Merespons hal tersebut, Jahja menambahkan, di saat pandemi ini banyak lulusan politeknik, sekolah menengah kejuruan (SMK), dan universitas yang tidak tertampung. Karena itu keilmuan yang dimiliki lebih baik digunakan untuk menggenjot inovasi UMKM, minimal di daerah asal.
“Lebih baik mereka kembali ke daerah masing-masing dan menjadi motor UMKM di sana sehingga UMKM kita menjadi lebih tangguh dan memiliki manajerial yang lebih baik. Dan digitalisasi juga akan lebih cepat terjadi karena generasi muda ini yang akan membawa perubahan ke daerahnya masing-masing,” tuturnya.