Sri Mulyani Ungkap RI Bersiap Hadapi Risiko Pasar Keuangan Global
- instagram @smindrawati
VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa Pemerintah tengah mengantisipasi adanya risiko krisis di pasar keuangan akibat adanya pengetatan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat. Kebijakan itu dikenal dengan istilah taper tantrum.
Hal Ini menurutnya tercermin dari asumsi tingkat suku bunga surat utang negara (SUN) 10 tahun pada 2022 yang berada di rentang 6,32-7,27 persen. Di satu sisi, dia menjelaskan, APBN juga masih membutuhkan pembiayaan yang sangat besar meski adanya risiko tersebut.
"Mencerminkan di satu sisi adanya kebutuhan pembiayaan APBN yang masih sangat besar di sisi lain ada risiko ketidakpastian pasar keuangan global yang diperkirakan masih akan berlangsung," kata dia di rapat paripurna DPR, Senin, 31 Mei 2021.
Sri menegaskan, salah satu risiko yang harus diwaspadai terhadap tingkat imbal hasil SUN adalah perubahan kebijakan moneter AS. Didorong oleh pemulihan ekonomi yang cepat dan didukung stimulus fiskal yang luar biasa besar di negara tersebut.
Hal ini menurutnya menimbulkan dampak inflasi yang bahkan mencapai di atas 4 persen di AS dan menimbulkan dinamika ekspektasi inflasi yang tinggi. Merespons kondisi ini diperkirakannya akan terjadi kebijakan moneter yang diperketat oleh The Federal Reserve.
Baca juga: Pengenaan Tarif Cek Saldo dan Tarik Tunai ATM Link Mulai 1 Juni Batal?
"Dan belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum di tahun 2013, di mana ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat menimbulkan spillover yaitu pembalikan arus modal dari negara berkembang," papar Sri.
Dampak rambatan dari adanya taper tantrum tersebut dipastikannya bakal memberikan guncangan yang jelas terhadap berbagai variabel makro ekonomi Indonesia. Tidak hanya di pasar surat berharga negara (SBN) tapi juga di pasar modal dan pasar uang.
"Pemerintah akan terus bersinergi dengan otoritas moneter dan jasa keuangan dalam melakukan pemantauan dan mengambil langkah-langkah kebijakan secara antisipatif dan terkoordinasi," tegas mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini.
Salah satu langkah sinergi dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan disebutkannya terkait dengan pendalaman dan pengembangan pasar keuangan dalam negeri. Tujuannya agar daya tahan pasar keuangan domestik lebih kuat dari akibat efek rambatan.
"Pemerintah sepakat bahwa pasar keuangan domestik yang dalam, aktif, dan likuid sangat diperlukan dalam meningkatkan stabilitas pasar yang pada gilirannya akan menurunkan yield SUN," ungkap Sri.
Sri menegaskan, pasar keuangan yang dalam, aktif, dan likuid, akan menjadi sumber pembiayaan yang stabil, efisien, dan berkesinambungan. Hal ini akan meminimalkan dampak risiko volatilitas aliran modal investor asing terhadap yield SUN.