Megawati Cerita Penerimaan Pajak di Eranya Selalu Surplus
VIVA – Presiden RI Kelima, Megawati Soekarnoputri berbicara mengenai reformasi perpajakan. Ia bercerita, saat pemerintahannya, sempat mengalami surplus penerimaan negara di sektor pajak.Â
Ia mengatakan, negara bisa melakukan optimalisasi pajak dengan memperkuat program single identification number (SIN) atau nomor identitas tunggal perpajakan.Â
Menurut Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu, langkah ini sudah terbukti berhasil, karena sudah pernah diterapkan pada saat dirinya menjadi Presiden RI.
Baca juga:Â Karyawan Garuda Ingin Temui Jokowi Minta Penyelamatan Maskapai
Megawati mencatat bahwa pada tahun 2001 sampai 2004, target penerimaan pajak tercapai dan rasio pajak 12,3 persen.Â
"Pada tahun 2001 penerimaan pajak mengalami surplus Rp1,7 triliun, dan tahun 2002 kembali surplus, serta membukukan penerimaan pajak lebih dari Rp180 triliun. Bahkan pada tahun 2002 dan 2003, penerimaan pajak mampu menutupi pengeluaran rutin negara," kata Megawati, Jumat 28 Mei 2021
Dalam Webinar bertema 'Optimalisasi Penerimaan Pajak Melalui Penerapan SIN Pajak Demi Kemandirian Fiskal Indonesia' itu, Megawati menjelaskan bagaimana dasar filosofis dari program itu. Dalam Trisakti Bung Karno, sektor keuangan dilihat sebagai pilar penting bagi Indonesia yang berdaulat dan sekaligus berdiri di atas kaki sendiri.
Megawati mengaku saat pemerintahannya, situasinya tidak mudah. Dia harus bekerja membangun kedaulatan perekonomian Indonesia, di tengah berbagai krisis multidimensi pada saat itu. Namun krisis moneter dan krisis ekonomi sebagai akar persoalan krisis politik dan sosial yang terjadi dapat diselesaikan.Â
"Bayangkan, lebih dari 300 ribu kasus kredit macet dapat diselesaikan sesuai dengan perintah TAP MPR pada saat itu," ujar Megawati.
Megawati mengaku beruntung bisa bertemu sosok Hadi Purnomo, yang waktu itu adalah Dirjen Pajak. Hadi dinilai sosok teknokrat yang sangat memahami kebijakan fiskal melalui reformasi perpajakan. Dari situ Megawati lalu bisa memahami pentingnya SIN Pajak, yang semangatnya adalah konsep transparansi perpajakan.Â
Menurut Megawati, konsep itu cocok karena Bung Karno sebagai pendiri negara juga telah mengenalkan konsep ini, di mana pada 31 Desember 1965, Bung Karno mengeluarkan Perppu Nomor 2 tahun 1965, mengenai Peniadaan Rahasia bagi aparat pajak. Dengan Perppu tersebut, maka seluruh bank wajib memberikan semua keterangan yang dianggap perlu oleh Menteri Iuran Negara.
"Jadi, kalau orang sekarang menggembar-gemborkan transparansi, sebenarnya Bung Karno, sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia, sudah terlebih dahulu mengenalkan konsep transparansi dalam sistem perpajakan kita dari tahun 1965," ujar Megawati.
Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu juga menambahkan, dalam 100 hari kepemimpinannya sebagai presiden, dirinya berusaha memuluskan proposal SIN Pajak kepada DPR. Langkah tersebut berhasil karena SIN Pajak tercantum dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang APBN 2002.
Selain UU itu, disahkan pula Keppres Nomor 72 Tahun 2004 yang salah satu tujuannya yaitu meningkatkan pendapatan negara dari perpajakan melalui SIN Pajak. Saat itu, konsep perubahan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan juga telah dirampungkan, dengan memasukkan konsep SIN Pajak ke dalamnya. Akhirnya UU tersebut disahkan oleh DPR RI melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.Â
Tetapi ternyata undang-undang tersebut masih ada hambatannya, yakni adanya undang-undang lain yang masih mengatur mengenai kerahasiaan. Seperti contohnya UU Perbankan. Masalah-masalah itu akhirnya diselesaikan Presiden Joko Widodo dengan Perppu Nomor 1 tahun 2017, yang disahkan DPR melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 sebagai penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.
Â
"Maka Perppu Nomor 2 Tahun 1965, lalu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2001, dan Keppres Nomor 72 Tahun 2004, serta Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017, saya kira merupakan sebuah rangkaian dalam satu garis lurus sebagaimana pengelolaan perpajakan seharusnya dilakukan," katanya.