Jaga Produksi Blok Rokan, Chevron Diminta Segera Siapkan Listrik
- Pertamina
VIVA – PT Pertamina Hulu Rokan pada Agustus 2021 akan mengambil alih pengelolaan Blok Rokan, Riau dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI). Sehingga, CPI melalui Chevron Standard Ltd atau CSL diminta segera menyelesaikan negosiasi dengan PLN terkait pasokan listrik.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan kelanjutan pengelolaan PLTGU North Duri Cogeneration (NDC) seharusnya segera diselesaikan untuk menjamin kelanjutan pengelolaan Blok Rokan.
Untuk itu, guna menyelesaikan itu, sebaiknya pemerintah mendorong adanya sinergi BUMN antara Pertamina dan PLN. “Namun yang lebih penting dari itu semua adalah kepastian keberlanjutan pasokan listrik untuk Blok Rokan," kata Komaidi kepada media, dikutip Senin 24 Mei 2021.
Diketahui, pemilik PLTGU itu adalah PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN). Sebanyak 95 persen saham MCTN dikuasai CSL dan sisanya oleh perusahaan lokal.
CSL disebut-sebut tengah melelang pengelolaan PLTGU NDC. Beberapa peserta dikabarkan menarik diri karena harganya yang dinilai kemahalan, yaitu US$ 300 juta, apalagi Chevron sudah mengeruk keuntungan lebih dari 20 tahun atas pengoperasian pembangkit tersebut.
Di sisi lain, Pertamina dan PLN diketahui sudah melakukan komunikasi penyediaan tenaga listrik dan uap di Blok Rokan pada Maret 2020. Pada 1 Februari 2021, kedua perusahaan meneken Perjanjian Jual Beli Listrik dan Uap (PJBTLU) yang mulai efektif Agustus 2021, bersamaan dengan berakhirnya pengelolaan Blok Rokan oleh CPI.
Kebutuhan listrik Blok Rokan sejatinya adalah 400 megawatt serta steam 355 MBSPD. PLTGU NDC hanya akan digunakan selama tiga tahun seiring komitmen dan kesediaan PLN yang akan memasok listrik untuk Blok Rokan melalui interkoneksi Sumatera.
Kejelasan pasokan listrik dari PLTGU NDC akan mendorong produksi minyak dari Blok Rokan terjaga, minimal tidak turun drastis. Berdasarkan data dari SKK Migas, hingga kuartal I 2021 produksi minyak dari Blok Rokan rata-rata 162.951 barel per hari (bph), turun dari realisasi kuartal I 2020 yang tercatat 174.424 bph.
Menurut Komaidi, pasokan listrik untuk Blok Rokan yang telah berjalan selama ini, tentu menggunakan basis dan kesepakatan antara para pihak. Dalam kesepakatan tersebut tentu harus disampaikan kepada publik bagaimana hak dan kewajiban para pihak setelah kontrak pengusahaan Blok Rokan beralih dari pengelola lama kepada pengelola yang baru.
"Para pihak tentu harus mengacu pada ketentuan dan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya," katanya.
Listrik Tulang Punggung Blok Rokan
Wakil Kepala SKK Migas, Fataryani Abdurahman, mengatakan listrik dan uap adalah tulang punggung operasi yang ada di Blok Rokan. PLTGU North Duri Cogeneration didesain pada dekade 90-an untuk melaksanakan teknologi steamflood Enhanced Oil Recovery (EOR) yang membutuhkan pasokan listrik besar.
Dia mengatakan SKK Migas telah mengirimkan surat kepada CPI perihal ke pembangkit di Rokan. "Pembangkit tersebut dibangun di tanah milik negara dulu perjanjiannya oleh pihak ketiga," ujarnya.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril menjelaskan, dalam rencana PLN kebutuhan listrik dan steam untuk Blok Rokan dibagi dalam dua tahap.
Pertama, masa transisi (2021-2024) memanfaatkan supply eksisting dengan skema akuisisi PLTG NDC dengan biaya yang paling efisien. Hal ini dilakukan karena koneksi sistem kelistrikan Blok Rokan ke sistem PLN hanya membutuhkan waktu pembangunan selama tiga tahun.
Kedua, masa permanen (2024-dst), listrik secara total dipasok dari Sistem Sumatera dan steam akan dipasok dengan pembangunan steam Generator yang lebih andal.
"Dalam masa transisi tiga tahun, PLN mengelola PLTG Cogen Ex MCTN di North Duri sebesar 270 MW dan steam 350 MCWED serta listrik di Minas, Central Duri milik CPI sebesar 130 MW dan steam 50 MBWCED. Skema masa permanen setelah masa transisi, 400 MW dari Sistem Sumatera dikonversi 5 x 100 MW dengan steam generator 400 MBCWED," ujarnya dalam diskusi Energy and Mining Editor Society, 8 April 2021 lalu.
Agar skenario ini mulus PLN harus mengakuisisi PLTGU NDC yang harganya disebut-sebut mencapai US$300 juta atau sekitar Rp4,39 triliun yang dinilai tidak masuk akal.
Padahal, PLN hanya akan menggunakan PLTGU NDC milik MCTN itu tiga tahun. MCTN mengoperasikan PLTGU itu sejak 2000. Nilai investasi MCTN saat membangun PLTGU NDC sekitar US$190 juta.