Kenaikan Tarif PPN Dinilai Cuma Bikin Susah Rakyat Miskin
- panoramio
VIVA – Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh pemerintah mendapat tentangan dari kalangan ekonom. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pun menawarkan dua opsi kenaikan, yakni tarif 15 persen PPN atau multitarif.
Salah satu penolakan disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal. Menurutnya, kenaikan tarif PPN bukanlah kebijakan yang baik di tengah masa Pandemi COVID-19, karena juga akan memengaruhi masyarakat kecil.
"Saya tidak sepakat karena PPN itu pajak yang ditarik berdasarkan setiap transaksi yang dilakukan oleh siapapun, apakah dia orang kaya ataupun orang miskin, jadi sama treatment-nya," tegas dia kepada VIVA, Jumat, 21 Mei 2021.
Baca juga: Enaknya, PNS di Bawah Kemenko Marves Boleh Work From Bali
Faisal menganggap, jika kenaikan PPN betul-betul dilakukan pada tahun depan, maka hal itu hanya akan membuat susah rakyat miskin. Rakyat kecil atau masyarakat golongan menengah ke bawah akan tertekan. Sebab, hingga tahun ini saja mereka secara ekonomi masih terdampak Pandemi COVID-19.
"Kalau itu dinaikkan maka yang mendapatkan beban lebih berat adalah mereka yang kalangan menengah ke bawah karena daya beli mereka lebih rendah dan pada saat pandemi mereka mengalami penurunan (pendapatan)," tegasnya.
Dampak dari kebijakan kenaikan tarif PPN ini, menurut Faisal hanya akan menekan konsumsi masyarakat. Padahal porsi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 57 persen.
"Akibatnya konsumsi masyarakat akan turun kembali, jadi ini bertolak belakang dengan upaya pemerintah untuk mendorong sisi konsumsi masyarakat pada saat pandemi seperti sekarang. Itu kontraproduktif memangkas potensi peningkatan konsumsi," tutur Faisal.
Sebagai informasi, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo sebelumnya telah menjelaskan kenaikan ini diperlukan lantaran tarif PPN Indonesia yang sebesar 10 persen lebih rendah dibandingkan dengan tarif yang ditetapkan negara-negara lain.
Menurutnya PPN Indonesia masih di bawah tarif PPN global yang tercatat rata-rata 11-30 persen. Selain itu, hanya tinggal delapan negara yang dianggap menarifkan PPN di bawah global diantaranya Indonesia, Afganistan, Australia, hingga Vietnam.
Ketimbang menyesuaikan tarif PPN, Faisal menilai pemerintah lebih baik menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) untuk golongan menengah atas. Sebab, dia menganggap mereka saat ini memiliki simpanan yang sangat besar karena cenderung menahan konsumsi.
"Kalau PPh ini lebih pas terutama kalau dia yang didorong progresifitasnya yang masyarakat kelas atas itu yang dinaikkan tarifnya karena pada saat pandemi kelas atas sebetulnya daya belinya menguat, tabungannya makin banyak," paparnya.