Tax Amnesty Jilid II, Ekonom Sebut Hanya Genjot Penerimaan Sesaat

Pelayanan tax amnesty di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Chandra G Asmara

VIVA – Pemerintah mewacanakan kembali adanya pengampunan pajak  atau Tax Amnesty jilid II. Kebijakan itu disebut-sebut jadi salah satu poin pembahasan revisi kelima Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Bakal Bikin Pembangunan Berkelanjutan, Tarif PPN 12 Persen Dinilai Berdampak Positif ke Invetasi

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkapkan selain berisi kenaikan tarif PPN, RUU KUP ini juga akan membahas pengurangan tarif PPh badan, PPN barang jasa atau Goods and Services Tax (GST), hingga pajak karbon dan juga Tax Amnesty.

Khusus untuk Tax Amnesty, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, kebijakan ini perlu mendapat pengawalan ketat. Karena sudah dilaksanakan secara luas pada 2017.

Haris Rusly Moti Yakin Pemerintahan Prabowo Sangat Hati-hati Terapkan PPN 12 Persen

Secara umum, Faisal menganggap program ini memang bisa mendongkrak penerimaan negara dalam jangka pendek. Tapi, juga ada efek merugikan dalam jangka panjang karena potensi penerimaan negara hilang banyak karena kebijakan ini dilaksanakan berulang.

Baca juga: Sri Mulyani Buka-bukaan Soal Kenaikan Tarif PPN

Ekonom Sebut PPN 12 Persen Tidak Signifikan Berdampak ke Daya Beli Masyarakat, Ini Penjelasannya

"Karena pengampunan pajak sebenarnya lebih besar. Selama ini masih banyak pajak yang dihindari atau tidak dibayarkan oleh kalangan orang pribadi maupun badan yang belum bisa sepenuhnya ditarik oleh Pemerintah," kata dia kepada VIVA, Jumat, 21 Mei 2021.

Jika tujuannya untuk semakin memperluas basis pajak, Faisal juga mengkritisi. Sebab, untuk hasil dari kebijakan Tax Amnesty jilid I saja penerimaan pajak tidak kunjung mengalami peningkatan yang stabil, dan cenderung masih sering mengalami shortfall dari target.

"Dengan Tax Amnesty yang sudah massive waktu itu mestinya sudah terjadi perluasan basis pajak, ya. Jadi, efeknya mestinya meningkat penerimaan pajaknya, memang meningkat saat itu tapi selesai Tax Amnesty kan turun lagi, jadi tidak relevan," tegas Faisal.

Faisal menilai, di tengah terus defisitnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, terlebih saat merebaknya Pandemi COVID-19, cara untuk menggenjot penerimaan negara dari pajak tidak bisa dengan cara yang konvensional dan dilakukan secara berulang.

"Jadi masalahnya bukan hanya basis pajaknya yang kurang luas, tapi setelah ada basis pajaknya ini implementasinya untuk ditarik pajaknya ini orang-orang yang tadi terdaftar dengan adanya Tax Amnesty kemana itu?" ungkapnya.

Karena itu, yang paling penting dari upaya pengumpulan pajak untuk meningkatkan atau memperbanyak penerimaan negara adalah dengan penguatan cara pengumpulan pajak. Sebab, basis pajak sendiri harusnya sudah dimiliki Direktorat Jenderal Pajak.

"Jadi masalahnya di enforcement. Ketika sudah ada basis pajak kemudian bisa enggak menarik pajak dari orang-orang yang selama ini pengemplang pajak, menghindari pajak maupun yang sengaja, ada tax avoidance dan tax evasion," tutur Faisal.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya