Harga Gas US$6 Per MMBTU Dinilai Rugikan Investor PGN

Petugas PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) mengalirkan gas bumi CNG (Compressed Natural Gas) untuk industri di PRS (Pressure Reducing Station) Tambak Aji Semarang, Senin, 10 Desember 2018.
Sumber :
  • VIVA/Dhana Kencana

VIVA – Kinerja PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN memburuk selama 2020. Hal itu disebabkan oleh penurunan konsumsi gas akibat pandemi COVID-19 dan kebijakan penetapan harga gas US$6 per MMBTU kepada industri tertentu sejak April 2020.

Menag Nasaruddin Berharap Peringatan Hari Ibu Jadi Penguatan Pemberdayaan bagi Perempuan

Hal tersebut diungkapkan oleh Analis Pasar Modal dari Finvesol Consulting Fendi Susiyanto dalam keterangan tertulisnya yang dikutip dari Antara, Rabu 14 April 2021.

Menurut dia, sangat masuk akal jika kerugian PGN disebabkan akibat dari harga gas US$6 per MMBTU yang bisa mencapai US$100 juta. Sebab, mayoritas pengguna gas PGN adalah penerima manfaat harga gas itu. 

Malaysia Lanjutkan Pencarian Pesawat MH370

"Sementara pemerintah tidak memberikan insentif ataupun subsidi sesuai yang diamanatkan dalam regulasi. Situasi sangat merugikan PGN, termasuk investornya di pasar modal," jelas Fendi.

Fendi mengatakan dari kaca mata investor, salah satu hal penting yang menjadi dasar untuk mengambil keputusan investasi saham adalah melihat model bisnis dengan potensi margin yang menguntungkan. Hal itu menjadi faktor pendorong nilai perusahaan akan meningkat jangka panjang.

Mobil Tabrak Kerumunan Pasar Natal di Jerman, 2 Orang Tewas

Secara model bisnis, lanjut Fendi, PGN sebenarnya merupakan emiten dengan fundamental dan prospek bisnis yang menarik. Sebagai inisiator dan pengembang infrastruktur gas bumi, PGN saat ini menguasai lebih dari 80 persen jaringan gas bumi di seluruh Indonesia. 

Namun dari total produksi gas nasional sebanyak 6.889 BBTUD, PGN mentransportasikan gas sebesar 1.930 BBTUD, sekitar 28 persen dan baru mengalirkan niaga gas sekitar 900 BBTUD atau sekitar 15 persen.

Sayangnya sebagai anak usaha BUMN, PGN mendapatkan perlakuan berbeda dari BUMN. Dengan komponen harga jual dipatok US$6, sementara komponen biaya realitasnya lebih tinggi. 

Fendi mencontohkan perlakuan berbeda pemerintah terhadap PT PLN (Persero) yang mendapatkan subsidi listrik. Bahkan, sejak 2015 beberapa BUMN konstruksi mendapatkan suntikan dana melalui penyertaan modal negara (PMN) mengembangkan berbagai infrastruktur. 

Sementara kepada PGN, yang selama ini mengembangkan infrastruktur gas bumi sebagai energi untuk mengurangi energi impor, tak ada bantuan dari pemerintah.

Menurut Fendi, jika alasannya sebagian saham PGN dimiliki asing, hal itu tidak masuk akal. Dikotomi asing dan nonasing ini tidak positif untuk mendorong pasar modal Indonesia semakin atraktif. Karena banyak BUMN yang mendapat PMN triliunan rupiah, sahamnya di pasar modal juga dikuasai oleh investor asing.

Secara umum, Fendi menghitung harga saham perusahaan berkode PGAS ini secara fundamental dari price to value bagus sekali. Namun, dari price to earning ratio justru negatif. 

Ini menunjukkan secara fundamental kuat, tapi ada dua faktor utama yang menjadi value destroyer bagi saham PGAS saat ini. Pertama, margin bisnis yang terbatas karena harga jual dipatok enam dolar AS. Kedua, adalah sengketa kasus putusan PPN gas bumi dengan DJP Kemenkeu.

"Investor pasar modal menunggu kejelasan dari skema kompensasi bagi PGAS dari pemerintah. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menjadi game changer atas kinerja keuangan perseroan ke depan," tegas Fendi.

Diketahui, sepanjang 2020 PGN mencatat kerugian bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai US$264,77 juta atau sekitar Rp3,84 triliun (kurs 1 dolar AS = Rp14.500).

Kerugian itu terutama disebabkan oleh keputusan kasasi Mahkamah Agung (MA) atas sengketa pajak 2012-2013 yang menetapkan PGN harus membayar beban pajak sebesar US$278,4 juta. Beban besar lainnya adalah penurunan aset minyak dan gas senilai US$78,9 juta.

Direktur Keuangan PGN Arie Nobelta Kaban menjelaskan pada 2020 PGN membukukan pendapatan senilai US$2,88 miliar atau turun 25,02 persen dari realisasi pendapatan 2019 yang mencapai US$3,85 miliar.

Di tengah berbagai tekanan bisnis, PGN berhasil menurunkan biaya operasional atau opex sebesar US$180,4 juta. Manajemen juga berhasil memangkas pengeluaran modal (capital expenditure), salah satunya pada pembangunan pipa minyak Blok Rokan, sebesar US$150 jutaatau setara dengan Rp2,1 triliun.

"Posisi keuangan PGN cukup baik, dengan total aset sebesar US$7,53 miliar. Aset tersebut termasuk kas dan setara kas sebesar US$1,18 miliar," jelas Arie. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya