Rizal Ramli Tanggapi Rencana Pemerintah Pajaki Pulsa dan Token Listrik

Emak-emak temui ekonom senior, Rizal Ramli, Kamis, 27 Agustus 2020.
Sumber :
  • Istimewa.

VIVA - Ekonom senior Rizal Ramli menanggapi rencana pemerintah memungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucher, kartu perdana dan token listrik mulai 1 Februari 2021. Menurutnya, langkah itu merupakan bagian dari dampak utang dengan bunga yang sangat tinggi.

Dari Sungai hingga Laut, Dampak Polusi Plastik pada Ekosistem Perairan

“Ngutang ugal-ugalan dengan bunga kemahalan, neraca primer negatif selama 6 tahun, akhirnya kepepet, Menkeu terbalik Sri Mulyani tekan sing printil-printil, seperti, pajakin rakyat kecil yang pakai token listrik dan pulsa,” kata Rizal Ramli melalui keterangan persnya, Jumat, 29 Januari 2021.

Mantan Menko Ekuin era pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu menilai cara yang dilakukan Menkeu Sri Mulyani dengan menarik pajak tersebut tidak kreatif. Bahkan, dia mengatakan, kebijakan tersebut membuat Presiden Joko Widodo “terpeleset” bersama Menteri Keuangan tersebut.

Menhub Dudy Proyeksikan Potensi Pergerakan Masyarakat pada Momen Nataru Capai 110,67 Juta Orang

“Mbok kreatif dikit kek. Jokowi akan kepleset bersama Menkeu terbalik. Udah ndak ngerti, dengerin mediocre,” kata Rizal Ramli yang juga mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu.

Sementara itu, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira menilai kebijakan tersebut kontraproduktif dengan pemberian stimulus kepada masyarakat maupun pengusaha di era resesi dan pandemi COVID-19 seperti sekarang ini. Padahal, saat ini pemerintah meminta masyarakat untuk menggunakan internet dan bekerja dari rumah (Work From Home) sehingga membutuhkan banyak banyak pulsa data atau nomor perdana.

Penjelasan Ditjen Pajak soal Tax Amnesty Jilid III

"Karena itu, kebijakan ini dianggap merupakan beban baru bagi masyarakat," kata Bhima.

Menurut Bhima, beban 10 persen tersebut tidak mungkin hanya ditanggung pihak penyelenggara, namun juga akan dibebankan kepada masyarakat atau konsumen dengan cara menaikkan harga. Karena itu, hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

Bhima menambahkan kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital yang dicanangkan pemerintah selama ini.

Rencana pemungutan pajak tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan/penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucher. PMK tersebut ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan diundangkan pada 22 Januari 2021.

Salah satu alasan terbitnya aturan itu adalah kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token dan voucher perlu mendapat kepastian hukum. Pertimbangan lain untuk menyederhanakan administrasi dan mekanisme pemungutan PPN atas penyerahan pulsa oleh penyelenggara distribusi pulsa.

Dalam pasal 4 ayat 4 disebutkan pemungutan PPN sesuai contoh yang tercantum pada lampiran dalam PMK itu yakni sebesar 10 persen. Sementara itu, terkait penghitungan dan pemungutan PPh atas penjualan pulsa dan kartu perdana oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua yang merupakan pemungut PPh pasal 22, dipungut PPh pasal 22.

Pemungut PPh melakukan pemungutan sebesar 0,5 persen dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada distribusi tingkat selanjutnya atau harga jual atas penjualan kepada pelanggan secara langsung.

Apabila wajib pajak tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka besarnya tarif pemungutan PPh pasal 22 lebih tinggi 100 persen dari tarif 0,5 persen.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya