Mendag Ibaratkan Surplus Neraca Dagang 2020 seperti Orang Sakit
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA – Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi menjelaskan sisi lain dari surplusnya neraca perdagangan sepanjang tahun 2020 yang mencapai US$21 miliar. Ternyata, surplus itu terjadi karena penurunan drastis dari impor, khususnya bahan baku dan bahan penolong.
Impor bahan baku dan bahan penolong sejatinya memiliki porsi 70,2 persen atau hampir 3/4 dari impor Indonesia.
Atas kondisi turunnya impor itu, dia mengatakan kondisi tersebut sebenarnya belum mengisyaratkan bahwa neraca perdagangan Indonesia sehat. Melainkan, justru dapat diibaratkan seperti orang sakit yang perlu berobat ke dokter spesialis.
"Ini (kondisi neraca dagang Indonesia) seperti seseorang sedang pergi ke dokter. Maka saya seperti dokter spesialis ingin melihat apakah ini (neraca perdagangan) benar-benar surplus atau memang lagi lemas," kata Lutfi dalam telekonferensi, Rabu, 27 Januari 2021.
Baca juga: Kejaksaan Agung Kantongi Calon Tersangka Kasus Korupsi Asabri
Lutfi pun membandingkan kondisi neraca dagang pada 2020 dengan 2012 silam. Dia menjelaskan, neraca dagang RI di 2012 terlihat sangat positif karena dibantu kondisi harga batu bara yang naik meroket di atas US$100 dolar.
Hal itu ditambah dengan kondisi harga minyak global di atas US$100, serta naiknya sejumlah komoditas dasar Indonesia di pasar luar negeri. "Jadi kita (saat itu) seperti mendapatkan sesuatu otot yang luar biasa," ujarnya.
Namun pada neraca perdagangan 2020, Lutfi mengaku melihat sesuatu yang berbeda. Karena setelah didalaminya, ternyata pada kuartal III-2020 itu sektor perdagangan minus 5,03 persen, dan sektor transportasi dan pergudangan minus 16,7 persen.
"Artinya, perdagangan ini tidak jalan. Kemudian kalau kita lihat lagi, penyediaan akomodasi dan makanan-minuman itu turunnya hampir 12 persen," kata Lutfi.
Hal itu masih ditambah lagi dengan penurunan aspek konsumsi dan reparasi sektor otomotif, dalam hal ini sepeda motor, yang anjlok hingga 18,06 persen di kuartal III-2020 lalu. Lutfi mengaku, masalah ini menjadi salah satu fokus perhatian Kemendag karena sektor otomotif nasional adalah salah satu jenis barang ekspor asal Indonesia yang berteknologi tinggi.
Kemudian, lanjut Mendag, terdapat juga penurunan pembelian barang bukan sepeda motor sekitar 2,08 persen di tengah inflasi yang terjaga di 1,68 persen, serta anjloknya sektor industri hotel, restoran, dan katering hingga mencapai 40 persen.
"Jadi inflasi kita ini memang di-drive oleh bahan pangan, yang terkendali rendah di 1,68 persen," ujarnya.
Karena itu, Lutfi berpendapat jika situasi semacam ini didiamkan, maka hal ini justru bukan sesuatu yang baik bagi neraca dagang Indonesia. Sebab, dalam perkembangan impor di tahun 2020, bahan baku dan bahan penolong untuk impor tercatat mencapai 72,3 persen, barang konsumsi 10,4 persen, dan barang modal mencapai 16,7 persen.
"Jadi di sini kita bisa melihat kalau impor kita turun itu, belum tentu ini menunjukkan sesuatu yang positif terhadap ekonomi kita," ujarnya.