Insentif Kurang, Apindo Minta Pemerintah dan Masyarakat Berbagi Beban

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani dan pengurus Apindo.
Sumber :
  • VIVA/Fikri Halim

VIVA – Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, insentif yang telah digelontorkan pemerintah untuk mendukung perekonomian di tengah pandemi COVID-19 masih belum optimal.

Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani mengatakan, meskipun dari sisi besaran insentif sudah sangat besar, dari sisi efek daya ungkitnya terhadap perekonomian tidak terasa. Sebab, masih banyak perusahaan yang gulung tikar akibat wabah virus Corona itu.

Sebagaimana diketahui, salah satu insentif yang telah digelontorkan pemerintah pada 2020 untuk menghadapi pandemi COVID-19 dilakukan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp695,2 triliun termasuk insentif usaha Rp120,61 triliun.

"Jumlahnya besar tapi efek dorongnya dirasakan masih kurang, kita harus melihat lebih tajam lagi sebetulnya stimulus ini tepat sasaran atau tidak, karena dalam berbagai kesempatan yang kita lihat daya dorongnya kurang," kata Haryadi secara virtual, Selasa, 26 Januari 2021.  

Oleh sebab itu, Haryadi menilai, seharusnya pemerintah memberikan stimulus berupa pembagian beban yang ditanggung dari tekanan ekonomi akibat pandemi COVID-19. Pembagian beban itu harus dilakukan setara antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha.

"Yang kita harap dari stimulus ini berbagi beban antara pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat. Nah, kami melihat sementara ini bebannya masih banyak ditanggung dunia usaha, ini kita harap burden sharing-nya sama," tegas Hariyadi.

Haryadi mencontohkan, saat kondisi tekanan ekonomi akibat krisis pada 1998, terdapat beban ekonomi yang mencapai Rp600 triliunan. Kemudian beban ini dibuat semacam obligasi jangka panjang dan hal ini dinilainya bisa dimanfaatkan pada saat ini.

"Jadi kalau 1998 beban itu ada Rp600 triliun yang juga dibuat semacam obligasi jangka panjang, mungkin juga nanti perlu kita pikirkan gimana jalan keluarnya, karena kita sekarang masih lihat beban itu masih ada di pelaku usaha yang terbesar," ucap dia.

IHSG Sesi I Anjlok 0,57 Persen Usia BPS Rilis PDB, Saham AMMN hingga BRPT Melesat

Selain persoalan insentif yang belum optimal, Haryadi menilai sektor jasa keuangan termasuk perbankan masih juga belum memberikan solusi yang nyata untuk membantu pembiayaan usaha para pengusaha. Padahal ini bisa menggerakkan roda perekonomian.

"Masalah kredit kami melihat dari penjelasan Pak Wimboh, Pak Tumilaar rasanya kok baik-baik saja, saya kadang-kadang penasaran apakah itu seperti itu atau seperti apa, karena yang kami monitor di lapangan tidak seperti itu," ungkap Haryadi.

Apa Kabar Insentif Konversi Motor Listrik di 2025?

Dia mencontohkan, untuk program restrukturisasi kredit saja, saat ini yang baru memanfaatkan program itu sebanyak 18 persennya debitur dengan nilai mencapai Rp971 triliun. Padahal, menurutnya, target Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebanyak 25 persen atau Rp1.400 triliun.

"Targetnya itu 25 persen, Rp1.400 triliun kalau saya tidak salah ingat, tapi yang sudah tercapai adalah Rp971 triliun atau 18 persen. Pertanyaannya apakah sisanya baik-baik saja karena Malaysia saja kebalikannya 75 persen minta direstru, yang 25 persen baik-baik saja," ucapnya.

Jepang Cari Pendatang Baru untuk Huni Desa-desa Tradisional dengan Bayaran Gratis

Oleh sebab itu, Hariyadi menganggap, jika persoalan program insentif dan program restrukturisasi kredit ini tidak mampu diperbaiki oleh pemerintah, dia memperkirakan dua hal itu akan menjadi sumber masalah terhadap ekonomi 2021.

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi/Realisasi Investasi.

Mirae Asset Ungkap Ekspektasi Pasar soal BI Rate dan Kebijakan Pemerintah

Investor berharap Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan dan pemerintah keluarkan kebijakan pro pasar supaya kembali bergairah di tengah ketidakpastian global.

img_title
VIVA.co.id
13 Maret 2025