RI Siap Bantu Uni Eropa Bikin Industri Baja Berteknologi Tinggi
- ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
VIVA – Pemerintah Indonesia menilai, sengketa mengenai kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang ditantang Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) kemarin, disebabkan kalah saingnya produktivitas industri baja dan besi negara-negara di kawasan tersebut.
Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, menyatakan, itu karena pada dasarnya EU bukanlah importir terbesar nikel dari Indonesia. Meskipun, nikel merupakan bahan baku utama untuk membuat stainless steel atau besi tahan karet di industri mereka.
"Setelah kita pelajari bahan komoditas nikel yang diimpor EU ternyata kecil sekali dari Indonesia dan EU anggap ini (kebijakan larangan ekspor bijih nikel) ganggu produktivitas industri stainless steel mereka," kata Lutfi saat konferensi pers, Jumat, 15 Januari 2021.
Di sisi lain, dia mengklaim, karena Indonesia telah bertransformasi dari penjual produk mentah dan barang setengah jadi menjadi penjual barang hasil teknologi tinggi, termasuk di industri besi dan baja, menyebabkan produktivitasnya meningkat pesat dibanding EU.
"Karena baja kita terutama dari stainless steel penghasil nomor dua di dunia setelah China. Jadi Indonesia sukses menciptakan nilai tambah di industri tersebut dengan teknologi tinggi, energi efisien, menghasilkan barang-barang yang superior dan lebih baik dari Eropa," tuturnya.
Padahal, Lutfi mengingatkan, dengan pesatnya perkembangan teknologi tersebut, maka era perdagangan saat ini bukanlah era persaingan dan saling sengketa. Melainkan, era di mana kerja sama atau kolaborasi untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan dunia.
"Saya ingatkan ke EU sebenarnya persaingan oke tapi ini era kolaborasi. Jadi kita kalau bicara persaingan, misal bicara minyak nabati kelapa sawit diadu dengan minyak nabati di Eropa rapeseed dan juga mungkin sunflower ini memang sulit dibandingkan," tuturnya.
Oleh sebab itu, dia menyatakan, jika nantinya UE meminta bantuan Indonesia untuk turut serta memberikan masukan atau dukungan memajukan industri besi dan baja mereka, termasuk stainless steel lebih berteknologi tinggi, maka pemerintah siap menolong.
"Sebagai bagian dari kolaborasi kita tidak merasa keberatan untuk memberikan masukan kalau dibilang nasihat enggak pantas, tapi memberikan masukan, input ke EU bagaimana menciptakan nilai tambah dari industri tersebut," ujar dia.
Menurut Lutfi, industri besi dan baja UE saat ini jauh tertinggal dengan yang dimiliki Indonesia. Sebab, negara-negara di kawasan tersebut hanya memiliki pabrik-pabrik industri besi dan baja yang tua serta tidak berteknologi tinggi.
"Karena kita pabrik baru dan teknologinya tinggi, ongkosnya murah, tiba-tiba Indonesia jadi pemain kedua terbesar di stainless steel dunia setelah China. Kalau dibutuhkan, kalau mereka minta, Indonesia siap untuk memberikan masukan, bantuan," tegas dia.
"Karena kita lihat ongkos mereka mahal, pabrik tua, perlu investasi tinggi, kita siap kirim tim ahli kita. Saya akan koordinasi dengan Menteri Perindustrian Pak Agus Gumiwang untuk memastikan kalau dibutuhkan Indonesia siap membantu," ungkap Lutfi.