Percantik Laporan Keuangan Perusahaan Pakai Harta Pribadi Bisa Disita
- vivanews/Andry Daud
VIVA – Para pelaku usaha, terutama emiten di Bursa Efek Indonesia, diwanti-wanti untuk menyampaikan laporan kinerja tahunan secara benar. Jika tidak, dapat berurusan dengan hukum dan dampaknya tidaklah kecil kepada kinerja perusahaan.
Apalagi menurut Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga, Budi Kagramanto, praktik mempercantik laporan keuangan di penghujung tahun atau biasa disebut window dressing, kerap merugikan investor. Hal itu pun dapat merusak kredibilitas perusahaan Indonesia.
Ia mencontohkan, kasus laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) pada 2017. Karena mencoba main-main, laporan itu pun saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Budi, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen lama AISA merupakan tindak pidana yang merugikan tidak hanya perusahaan. Tapi juga kinerja saham, investor hingga citra industri pasar modal itu sendiri.
Baca juga: Surveyor Indonesia Ditetapkan Sebagai Lembaga Pemeriksa Halal
“Kalau setiap perusahaan melakukan hal seperti itu bisa kacau. Sudah tepat Jaksa Penuntut Umum menggunakan Undang-Undang Pasar Modal kepada terdakwa, ada ketentuan pidana di situ. Pertanggungjawabannya bisa sampai kekayaan pribadi,” kata Budi dikutip dari keterangannya, 4 Januari 2021.
Sebagai informasi, manajemen lama AISA, yakni Joko Mogoginta mantan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) dan Budhi Istanto Suwito mantan Direktur AISA, tengah didakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mereka diduga menggelembungkan (overstatement) piutang anak usaha ke AISA dalam laporan keuangan 2017. Imbasnya, laporan keuangan konsolidasi AISA tampak menarik.
Penyelidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas kasus itu pun menghasilkan ada pelanggaran dalam laporan keuangan AISA. Ada aliran dana kepada perusahaan-perusahaan terafiliasi alias yang dimiliki pribadi oleh direksi AISA pada waktu itu.
"Memberikan utang kepada perusahaan yang dimiliki sendiri itu bentuk penyalahgunaan dan itu pelanggaran berat. Jadi selain UU Pasar Modal, bisa juga UU Perseroan Terbatas (PT),” katanya.
Hal senada diungkapkan pengamat pasar modal, Profesor Adler Haymans Manurung. Menurutnya, rekayasa laporan keuangan dalam akuntansi disebut Smoothing the Income.
Bila ada emiten yang merekayasa, kata dia, kemungkinan besar emiten tersebut merasa bisa melakukannya dan merasa dapat lolos dari pengawasan.
Karena itu, Adler menegaskan, agar kejadian serupa tidak terulang, OJK perlu membuat divisi khusus yang mengawasi hal ini. “Melihat kecurangan emiten, merupakan salah satu bagian dari perlindungan investor,” katanya.
Dalam kasus AISA yang dilakukan oleh mantan direksi, lanjut Adler, merupakan tindak pidana yang dapat dijerat dengan UU Pasar modal. Namun hukuman berupa penjara dan denda Rp15 miliar dalam UU Pasar Modal menurutnya masih dirasa kurang.
“Pelakunya juga harus di-blacklist, tidak bisa jadi direksi perusahaan terbuka termasuk anak perusahaannya,” tegas Adler.
Menurutnya, pelaku pasar keuangan berharap OJK sebagai ujung pertahanan ketidakberesan yang dilakukan emiten, dapat melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang merugikan investor. Karena pada akhirnya akan merusak citra pasar modal.
“Jadi tidak hanya menunggu laporan dari investor yang dirugikan, harus bisa jemput bola,” pungkas Adler. (ase)