Fintech Indonesia Bisa Maju jika Regulasi Data Pribadi Rampung
- Istimewa
VIVA – Indonesia Fintech Society (IFSoc) memproyeksi industri fintech pada 2021 bisa maju jika didukung regulasi. Momentum dan regulasi kunci akan menentukan pertumbuhan industri fintech dalam meningkatkan inklusi keuangan di Tanah Air.
Anggota Steering Committee IFSoc, Yose Rizal Damuri, menjelaskan bahwa sejumlah momentum dan regulasi kunci yang akan menentukan pertumbuhan industri fintech RI 2021 antara lain adalah Rancangan Undang Undang mengenai Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP).
"Seiring dengan pesatnya perkembangan aktivitas dan inovasi layanan keuangan digital, IFSoc berpandangan diperlukan respons yang tepat dalam mengakomodir PDP, khususnya aspek perlindungan bagi pengguna terkait pengumpulan dan penggunaan data pribadi pengguna," kata Yose dalam telekonferensi, Selasa 29 Desember 2020.
Baca juga: Kasus Munarman Sebut Laskar FPI Tak Bawa Senpi Naik ke Penyidikan
Regulasi kunci lainnya yang juga harus mulai disiapkan pemerintah adalah terkait maraknya perkembangan bisnis bank digital oleh pelaku industri perbankan serta fintech. Yose menekankan, terdapat urgensi yang cukup besar terhadap regulator untuk mengeluarkan ketentuan khusus terkait bisnis bank digital.
Karena, IFSoc percaya bahwa bank digital dapat mengubah lanskap industri perbankan di Indonesia, dengan fakta dari 50 persen masyarakat yang belum memiliki rekening bank.
"Bank digital dapat mempercepat penetrasi layanan perbankan ke daerah terpencil dengan biaya lebih rendah daripada membangun kantor cabang fisik. Potensi pertumbuhan digital banking yang pesat, seyogianya akan mendorong OJK mengeluarkan regulasi khusus di 2021," ujarnya.
Selain itu, regulasi terkait P2P lending juga menjadi salah satu urgensi yang harus dilakukan pemerintah, mengingat penyaluran pinjaman dari P2P lending selama pandemi terus mengalami peningkatan. Secara akumulasi, per September 2020 nilainya bahkan sudah mencapai Rp128,7 triliun.
OJK juga sedang menyusun peraturan baru terkait Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau P2P lending, untuk merevisi peraturan yang sebelumnya. IFSoc berharap, peraturan OJK yang baru ini akan dapat lebih menjamin pemenuhan prinsip-prinsip perlindungan konsumen, dan pada saat yang sama juga mendorong inovasi serta pertumbuhan akses layanan keuangan digital.
Selanjutnya yakni regulasi Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETP) dan Modul Penerimaan Negara Generasi Ketiga (MPN-G3).
Era new normal, menurutnya, menjadi momen peningkatan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pemasukan negara serta melakukan percepatan dan perluasan digitalisasi layanan pemerintah. Seperti inisiatif ETP dan MPN-G3 tersebut. Hal ini mengingat, adanya perubahan pola interaksi di masyarakat yang cenderung mengurangi kontak, termasuk dalam bertransaksi.
Terakhir, lanjut Yose, adalah regulasi terkait Distribusi Bantuan Sosial (G2P). IFSoc mendorong pemerintah untuk memanfaatkan fintech dalam melakukan distribusi bantuan sosial. Mengingat fintech telah terbukti berhasil menghilangkan peran intermediary dalam penyaluran insentif program Kartu Prakerja dan dapat dikembangkan untuk skema bantuan sosial murni.
Karakteristik dan cakupan fintech dapat dimaksimalkan, guna mencapai target 6T (tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah, tepat harga, tepat kualitas, dan tepat administrasi).
"IFSoc memandang bahwa kelanjutan integrasi fintech dalam penyaluran bantuan sosial secara nontunai perlu diiringi dengan identifikasi tantangan, dukungan kajian kebijakan, serta penyiapan ekosistem operasional," ujarnya. (art)