BPK Ungkap Tata Kelola Piutang Perpajakan Masih Bermasalah

Ilustrasi Gedung BPK.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan ada permasalahan yang harus dibenahi dalam tata kelola piutang perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak. Termasuk pengelolaan penatausahaan pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

Profil Agus Joko Pramono, Eks Wakil Ketua BPK Kini Pimpin KPK

Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan (Kaditama Revbang) Pemeriksaan Keuangan Negara, B. Dwita Pradana, menegaskan bahwa upaya meng-up date sistem informasi diperlukan guna memastikan validitas data harus segera dilakukan oleh Dirjen Pajak Kemenkeu.

"Supaya Dirjen Pajak memutakhirkan sistem informasi, dalam memastikan validitas data piutang pajak dan penyisihan atas piutang pajak. Lalu agar mereka juga memastikan piutang PBB, yang terintegrasi dengan sistem informasi Dirjen Pajak," kata Dwita dalam telekonferensi, Selasa, 29 Desember 2020.

Kuasa Hukum Tom Lembong Serahkan Hasil Audit BPK ke Hakim Praperadilan, Hasilnya Tak Ada Kerugian Negara

Baca juga: Gisel Akui Bikin Video Porno di Medan Tahun 2017

Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2020 yang disampaikan hari ini, BPK mencantumkan bahwa sumber yang didapat terkait masalah ini berasal dari hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019.

Kasus Korupsi Timah, Pengacara Tamron Kritik Peran BPKP dalam Audit dan Tentukan Kerugian Negara

Di dalamnya, BPK menemukan kelemahan sistem pengendalian internal dalam penatausahaan piutang perpajakan di Ditjen Pajak, serta di Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan RI.

Akibatnya, kelemahan ini pun menimbulkan implikasi bagi keuangan negara, di mana dampak dari kelemahan tersebut antara lain yakni hak penagihan piutang perpajakan berpotensi tidak berlaku sebesar Rp24,33 miliar.

Kemudian, ada juga saldo piutang perpajakan yang kurang catat mencapai sebesar Rp333,36 miliar dan yang lebih catat sebesar Rp62,69 miliar. Selanjutnya, data piutang perpajakan yang tidak diyakini kebenarannya juga mencapai sebesar Rp238,18 miliar.

Selain itu, kelemahan tersebut diakui Dwita juga menyebabkan proses penagihan piutang di Dirjen Bea Cukai menjadi berlarut-larut. Sehingga penerimaan yang telah menjadi hak negara tidak dapat segera diterima dan dimanfaatkan oleh negara.

"Dan di sisi lain, BPK menyebut bahwa temuan tata kelola piutang perpajakan terjadi karena Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai belum memiliki sistem dan mekanisme pengendalian, yang mampu memvalidasi penghitungan piutang perpajakan dan penyisihan piutang," ujarnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya