Jika Terimplementasi, UU Cipta Kerja Buat RI Leading di Asia Tenggara

Pekerja menyelesaikan produksi kain sarung di Pabrik Tekstil Kawasan Industri Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat, 4 januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

VIVA – Dibuatnya Undang Undang Cipta Kerja oleh pemerintah dinilai membantu Indonesia melakukan lompatan luar biasa dalam membentuk ekosistem investasi di Tanah Air. Hal itu pun dinilai bisa antarkan Indonesia menjadi negara maju dan leading di Asia Tenggara.

Menteri Rosan Pede UMR 2025 Naik 6,5 Persen Tak Pengaruhi Masuknya Investasi Asing

Hal itu diungkapkan pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjuddin Noer Effendi. Untuk itu, dirinya berharap UU ini bisa benar-benar diimplementasikan dengan baik dan aturan turunannya bisa memasukkan unsur teknis dalam pelaksanaannya. 

Ia mengungkapkan, sebenarnya keberadaan UU Cipta Kerja dinilai terlambat. Seharusnya, regulasi tersebut sudah dijalankan sejak 20 tahun lalu agar saat terjadi perubahan demografi peluang kerja juga meningkat. Dengan adanya bonus demografi yang dimiliki Indonesia, maka UU Cipta Kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja sebesar mungkin.

Emas Digital Mulai Dilirik, Ini 5 Kelebihannya

"Dari sudut pandang pembangunan dan ketenagakerjaan harusnya regulasi ini dilakukan sejak 20 tahun yang lalu. Kalau pada waktu itu ekosistem investasi ini sudah ada tidak akan terjadi kelambatan transformasi ekonomi Indonesia," kata Tadjuddin dikutip Rabu 23 Desember 2020. 

Untuk itu, ia sangat berharap besar agar UU tersebut dapat diimplementasikan dengan baik ke depan hingga mampu membawa Indonesia menjadi negara maju pada 2040. 

Harga Emas Makin Bersinar, Jadi Investasi Tercuan Sepanjang Masa?

Tadjuddin juga mengatakan, dari sisi ekonomi, secara teoritis dan pengalaman negara berkembang dengan proses peralihan angkatan kerja dari sektor pertanian menuju ke industri dan kemudian services akan terjadilah juga transformasi sosial. Saat ada proses transisi ini akan terjadi perubahan sosial dari budaya kerja upah, jaminan pekerjaan, jaminan hari tua, dan seterusnya. 

“Tetapi di negara kita itu tidak terjadi karena ekosistem investasi itu belum ada. Transformasi ekonomi kita lambat terjadi, tenaga kerja kita itu dari sektor pertanian bukan menuju ke industri tapi ke pelayanan dan itu banyak informal,” jelasnya. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada Agustus 2020 penduduk yang bekerja di kegiatan informal sebanyak 77,68 juta orang (60,47 persen), sedangkan yang bekerja di kegiatan formal sebanyak 50,77 juta orang (39,53 persen). 

Dari data tersebut, penduduk bekerja di kegiatan informal pada Agustus 2020 mengalami peningkatan sebesar 4,59 persen dibandingkan Agustus 2019. Sehingga, implikasi dari besarnya pekerja di sektor informal pekerja memiliki penghasilan rendah, tidak ada jam kerja yang teratur, tidak dilindungi undang-undang dan berbagai risiko lainnya. 

Sementara itu, besarnya jumlah pekerja informal akan memengaruhi proses transformasi. “Tidak berjalannya proses perpindahan angkatan kerja dari sektor pertanian ke industri itu juga memunculkan gejala pengangguran. Hal itu yang menyebabkan pengangguran kita selama 20 tahun terakhir itu tinggi,” kata Tadjuddin.

Adapun terkait kontroversi dari klaster ketenagakerjaan yang ramai dibahas, Tadjuddin mengambil contoh pada aturan mengenai tenaga kerja asing (TKA) bahwa pada UU Cipta Kerja justru dibuat lebih ketat dibandingkan UU Ketenagakerjaan pada 2003.

Kemudian terkait pengupahan, jika nanti transformasi sudah dilakukan, Tadjuddin menyarankan agar dasar pengupahan buka lagi berdasarkan pada upah minimum. Upah minimum disebut hanya sebagai batas upah bawah. Ke depan perlu ditetapkan dasar pengupahan pada collective bargaining yang menekankan pada kompetensi si pekerja.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya