Kaleidoskop 2020: Pro dan Kontra UU Cipta Kerja

Ilustrasi buruh saat aksi demo tolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

VIVA – Tahun 2020 menjadi momen bersejarah bagi Indonesia. Sebab tahun 2020 pertama kalinya Indonesia memiliki produk hukum dengan konsep Omnibus Law atau satu UU yang sekaligus merevisi beberapa atau bahkan puluhan UU, yang diberi nama Undang-Undang Cipta Kerja. Perjalanan UU ini mengundang pro dan kontra sepanjang tahun hingga akhirnya disahkan oleh DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020.

Tanggapi PDIP, Haidar Alwi Minta Pihak yang Kalah Pilkada Legowo

Perjalanan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini berawal pada Oktober 2019 saat Presiden Joko Widodo dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya. Saat itu, Jokowi menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut omnibus law. Omnibus law ini dibuat untuk menarik investor datang ke Tanah Air.

Pada 22 Januari 2020, DPR memasukkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Setelah itu, pada bulan Februari 2020, DPR mengaku telah melakukan roadshow ke berbagai daerah untuk mensosialisasikan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Prabowo Tetapkan UMP 2025 Naik 6,5 Persen, Kadin Kaji Dampaknya ke Dunia Usaha

Pada 2 April 2020, di mana situasi tengah dilanda Pandemi COVID-19, DPR tetap menggelar rapat paripurna yang membahas RUU Cipta Kerja dan DPR menyetujui RUU Omnibus Law dibahas sesuai mekanisme yang ada. Pada akhir April 2020, pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini sempat ditunda karena narasumber yang sedianya dihadirkan pada RDP Kamis 23 April 2020 belum mengonfirmasi kehadiran.

Pada bulan Mei 2020, tepatnya pada tanggal 1 Mei bertepatan dengan hari buruh Internasional, Buruh menyatakan penolakannya terhadap RUU ini dan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran. Pada Juni 2020, Partai Demokrat menarik diri dari pembahasan RUU Cipta Kerja di Baleg karena situasi masih dalam pandemi COVID-19 dan RUU tersebut tidak begitu mendesak. 

Respons Jokowi soal Ridwan Kamil Kalah dengan Pramono Versi Quick Count Sementara

Meski begitu, rapat pembahasan tetap dilanjutkan bahkan pada bulan Juli 2020, Baleg DPR RI tetap membahas RUU Omnibus Law meski saat itu DPR tengah memasuki masa reses sejak 16 Juli 2020. Alasannya karena DPR dan pemerintah sudah sepakat bahwa RUU sapu jagat ini dibutuhkan untuk mengantisipasi krisis ekonomi.

Namun di tengah pembahasan RUU Cipta kerja ini, pada Agustus 2020, Ribuan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beserta elemen serikat pekerja lainnya secara serentak melakukan aksi penolakan di depan gedung DPR/MPR. Aksi yang sama juga dilakukan buruh secara serempak di 20 provinsi di Indonesia.

Namun upaya unjuk rasa tersebut tidak membuahkan hasil, DPR bersama dengan pemerintah tetang ngebut membahas RUU tersebut. Menurut Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, total DPR melakukan 64 kali Rapat. 

"Rapat dimulai Senin-Minggu, dari pagi sampai malam dini hari, bahkan reses melakukan rapat di dalam atau di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," kata Supratman

Pada akhir September 2020, penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja masih terjadi dari kalangan buruh, namun ini tidak banyak berpengaruh dan DPR bersama pemerintah dan DPD diketahui menggelar rapat malam-malam pada Sabtu 3 Oktober 2020 kemudian di situ, Parlemen dan Pemerintah menyepakati RUU Cipta Kerja akan dibawa ke rapat paripurna penutupan masa sidang yang digelar Kamis 8 Oktober 2020.

Mendengar kabar tersebut, para buruh beserta pihak lainnya yang menolak telah berencana melakukan aksi mogok besar-besaran sejak tanggal 6-8 Oktober. Tetapi DPR RI justru di luar dugaan memajukan Rapat paripurna penutupan masa sidang menjadi Senin, 5 Oktober 2020 dari jadwal yang seharusnya.

Tanggal 5 Oktober 2020, Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Politik dan Keamanan, Azis Syamsuddin, mengetuk palu pengesahan RUU Omnnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Dalam pengesahan tersebut Dari 9 fraksi DPR, 6 fraksi menyetujui omnibus law RUU Cipta Kerja, 1 fraksi, yaitu PAN, menyetujui dengan catatan, sementara 2 fraksi, yaitu Demokrat dan PKS, menyatakan menolak RUU Cipta Kerja, bahkan dalam rapat Paripurna tersebut, diwarnai aksi walk out dari Partai Demokrat.

Setelah pengesahan tersebut, tak lantas membuat Polemik UU Cipta kerja berakhir. Masih ada sejumlah sorotan terhadap UU Cipta kerja terutama mengenai jumlah halaman yang terus berubah-ubah sampai adanya kesalahan pengetikan atau typo. 

Sejak diunggah di situs resmi DPR, naskah UU Cipta Kerja mengalami sejumlah perubahan. Tidak kurang dari lima kali terjadi perubahan naskah RUU Cipta Kerja seperti versi pertama yang diunggah di situs resmi DPR berjumlah 1.028 halaman, kemudian draft UU Cipta Kerja berubah menjadi 905 halaman yang dan disebut sebagai draf final RUU Cipta Kerja.  

Kemudian setelah disahkan, draf UU Cipta Kerja berubah lagi menjadi 1.052 halaman pada 9 Oktober 2020. Namun rupanya perubahan masih terus terjadi sampai draf tersebut dikirim ke Presiden Jokowi, yang mana jumlah halaman dari 1.052 berubah menjadi 1.035.

Kemudian versi yang kelima yakni UU Cipta Kerja yang memiliki 812 halaman. Draf inilah yang paling akhir dan telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi.

Setelah ditandatangani Presiden Jokowi, saat ini RUU Cipta Kerja telah sah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 dan sudah berlaku sejak diundangkan. Para pihak yang menolak UU tersebut masih berjuang mengajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. seperti salah satunya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang saat ini mengajukan uji materil.

Selain itu ada juga Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PPFSP TSK-SPSI) yang mengajukan pengujian formil dan materill Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Nasib UU tersebut saat ini masih diproses di Mahkamah Konstitusi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya