Dua Cara Ini Bisa Bikin OMAI Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
- Freepik/topntp26
VIVA – Presiden Joko Widodo menegaskan agar Indonesia memanfaatkan kekayaan hayati supaya industri farmasi dalam negeri bisa mandiri. Harapan Jokowi itu hingga kini belum dapat terealisasi, karena obat yang bahan bakunya diambil dari alam Indonesia belum jadi tuan rumah di negeri sendiri.
Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro mengatakan, para dokter harus mulai mendorong memakai Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang merupakan obat-obatan berbahan baku biodiversitas asli Indonesia.
OMAI pun kini telah berstandar Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka, yang dikembangkan serta ditemukan menggunakan prinsip farmakologi modern dan dirancang menurut kaidah internasional.
Baca juga: Penerimaan Pajak 2020 Baru 77%, Pungutan Seluruh Sektor Ekonomi Turun
"Secara moral, dokter-dokter di Indonesia justru harus yang pertama mempelopori pemakaian OMAI yang memang penyakit-penyakit membutuhkan fitofarmaka," kata Bambang saat diskusi online pada Senin, 21 Desember 2020.
Menurutnya, percuma saja bikin OMAI, meskipun dikatakan manjur dan terbukti sudah melalui uji klinis yang melelahkan serta mahal, tapi kemudian dokternya tidak mau bikin resepnya.
Bambang pun berpendapat, saat ini dokter bukannya ragu menggunakan OMAI. Tapi, kadang ada dokter sudah komitmen dengan perusahaan farmasi tertentu.
"Jadi resepnya kalau misalnya dokter ahli penyakit dalam, sakitnya ginjal, oh dia sudah tahu obatnya ini. Mohon maaf, itu bukan kategori OMAI tapi kategori impor bahan baku kimia," ujarnya.
Ke depannya, menurut Bambang, substitusi obat impor dengan OMAI bukan hanya penting dari sisi penggunaan produk dalam negeri. Tetapi, juga bisa menekan impor Indonesia ke depannya.
"Betapa tingginya impor bahan baku obat mau tidak mau kita harus cari substitusinya," ujarnya.
Menurut Bambang, selain penggunaan oleh dokter dalam negeri, ada hal lain yang bisa membuat OMAI jadi tuan rumah di negeri sendiri. Yaitu, OMAI harus masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Kalau OMAI masuk JKN, di situlah OMAI mulai dikenal, kalau OMAI atau fitofarmaka banyak dikenal maka otomatis minat industri farmasi meningkat untuk produksi OMAI lebih banyak," tutur Bambang.
Dia menilai, penyebab OMAI belum bisa masuk dalam program JKN karena masih adanya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 54 Tahun 2018. Untuk diketahui, dalam Pasal 8 ayat 2 yang menyebutkan bahwa obat yang diusulkan masuk Formularium Nasional di program JKN bukanlah obat tradisional dan suplemen makanan.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Anggia Erma Rini juga mengusulkan agar Permenkes 54/2018 direvisi. Dia mengaku mengetahui bagaimana petani herbal di daerah terbantu ekonominya ketika mendapat pesanan bahan baku obat dalam jumlah banyak dari industri.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi, mengatakan, pihaknya membuka peluang untuk merevisi regulasi terkait OMAI. Sebab, masih ada ruang untuk melakukan hal tersebut.
"Artinya semuanya bisa dilakukan," jawab Oscar terkait wacana revisi Permenkes 54/2018.
Saat ini, kata Oscar, dana kapitasi program JKN bisa dipakai untuk membeli OHT ataupun Fitofarmaka. Dia lantas berharap OMAI terus diperkenalkan ke calon dokter maupun dokter-dokter yang sudah berpraktik.
"Perlu barangkali dibuat semacam kurikulum khusus bahwa OMAI bisa kita masyarakatkan ke lingkungan calon dokter, dokter," ungkap dia.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan, Kemenko Marves Septian Hario Seto menyebut pihaknya akan membahas secara khusus agar OMAI bisa masuk JKN. Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan telah mengagendakan pembahasan khusus ini di awal 2021.
“Pak Menko (Menko Marves, Luhut B Pandjaitan) memberikan arahan supaya ini didorong saja dulu masuk. Jadi nanti diberikan kesempatan untuk produksi fitofarmaka masuk dalam JKN, lalu mereka yang fight sendiri nanti untuk marketing,” kata Seto.