Sektor Keuangan RI Dinilai Stabil di Tengah Pandemi, Ini Penjelasannya
- vivanews/Andry Daud
VIVA – Pandemi virus corona turut menghantam industri keuangan dunia saat ini, tak terkecuali Indonesia. Namun, sektor keuangan dalam negeri dinilai masih cukup stabil dan sehat di tengah gejolak pandemi tersebut.
Direktur Riset Core Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan hal itu terlihat dari sejumlah indikator utama, mulai dari kualitas aset hingga likuiditas juga masih terjaga.
Kondisi ini pun tak terlepas dari kerja pengawasan dan berbagai kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Yang sejak awal pandemi ini, bergerak cepat salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit.
Baca juga: BPS Ingatkan Musim Hujan hingga Liburan Bikin Harga Barang Naik
"Kebijakan itu menahan lonjakan NPL (Non Performing Loan), yang kemudian ikut menjaga likuiditas dan profitabilitas perbankan, serta lembaga keuangan nonbank,” ujar Piter dikutip dari keterangannya, Selasa 1 Desember 2020.
Dia menjelaskan, ketahanan di sektor keuangan ini memunculkan kepercayaan pelaku pasar yang akhirnya mendorong kembali kinerja pasar modal.
Terkait dengan pertumbuhan kredit yang terkontraksi sebesar 0,47 persen (yoy) per Oktober 2020. Hal itu dinilai lebih banyak disebabkan menurunnya kredit modal kerja, dampak masih tertekannya permintaan pada sektor usaha khususnya sektor riil di tengah pandemi.
“Perbankan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Perbankan fokus dalam menjaga kualitas kredit dan mengutamakan restrukturisasi kredit ketimbang menyalurkan kredit baru,” jelasnya.
Pertumbuhan kredit yang rendah tersebut juga dinilai hal yang normal di tengah situasi resesi saat ini. Hal tersebut justru menunjukkan kehati-hatian perbankan, dan itu merupakan hal yang wajar.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati juga mengatakan, pertumbuhan kredit yang negatif itu menunjukkan bahwa kepercayaan pasar masih rendah akibat pertumbuhan ekonomi yang juga terkontraksi.
“Salah satu penyebab utama adalah belum jelasnya kebijakan untuk mengatasi pandemi COVID-19, terutama di kota-kota besar di Jawa (Jabodetabek, Semarang, wilayah Surabaya Raya, Bandung) yang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi utama di Indonesia,”tutur Nina.
Selain memberikan stimulus ekonomi untuk mendorong permintaan, Nina berpendapat, Pemerintah perlu memperjelas langkah implementasi dari kebijakan mengatasi pandemi COVID-19.
Berdasarkan data OJK, likuiditas dan permodalan perbankan saat ini berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per 18 November 2020 terpantau pada level 157,57 persen dan 33,77 persen. Hal itu di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen November dan 10 persen.
Sedangkan, profil risiko dan permodalan sektor jasa keuangan juga terjaga. Berdasaarkan data Oktober 2020, rasio NPL gross tercatat sebesar 3,15 persen (NPL net 1,03 persen) dan Rasio NPF Perusahaan Pembiayaan sebesar 4,7 persen.
Kondisi itu ditopang kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan yang realisasinya hingga 26 Oktober mencapai Rp932,4 triliun untuk 7,53 juta debitur perbankan.
Dengan rincian, restrukturisasi kredit UMKM Rp369,8 triliun untuk 5,84 juta debitur dan non UMKM senilai Rp562,5 triliun untuk 1,69 juta debitur. Kemudian, realisasi restrukturisasi pembiayaan hingga 17 November mencapai Rp181,3 triliun untuk 4,87 juta kontrak. (ren)