Margin Makin Tipis, Proyek Infrastruktur Gas Baru Terancam Molor

Ilustrasi infrastruktur gas.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA – Margin bisnis gas bumi di Indonesia tercatat makin tipis, sehingga dinilai bisa menjadi ancaman bagi pembangunan infrastruktur gas bumi. Padahal cadangan gas masih melimpah, sehingga infrastruktur gas sangat dibutuhkan jaga ketahanan energi nasional.

Wapres Gibran Sebut Sektor Digital Bisa 'Dongkrak' Pertumbuhan Ekonomi RI

Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan, kondisi harga gas yang murah, diikuti ketidakjelasan pasar telah membuat tingkat Return of Investment (RoI) dari sebuah proyek pembangunan infrastruktur gas bumi menjadi lama. 

"Sebab, ya itu tadi, semakin rendah harga gas, maka semakin tipis margin yang bisa didapat pengembang. Ini yang akan menyulitkan pelaku usaha sulit membangun infrastruktur baru," katanya kepada media, dikutip Senin 30 November 2020. 

Strategi Agung Podomoro Kenalkan Peluang Investasi Properti di Kota-kota Besar Indonesia

Ia menuturkan, penurunan harga gas di tengah pandemi virus corona belum memberikan dampak signifikan bagi industri pengguna. Sebab, penurunan harga gas itu tidak mendongkrak volume produksi maupun penjualan industri pengguna gas. 

"Tujuan penurunan harga gas memang baik bagi industri, tapi momentumnya tidak dapat," ujar Komaidi. 

Jadi Agregator, PGN Siap Serap Pasokan Gas dari Lapangan Baru Termasuk Masela

Dengan demikian, lanjut dia, penurunan harga gas yang diinisiasi pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sangat terburu-buru. Kebijakan itu terkesan hanya untuk memenuhi peraturan yang sudah lama dibuat tapi tidak kunjung terlaksana.

Sebelumnya, kata Komaidi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Di mana pemerintah menetapkan harga gas bumi yang sebelumnya US$7 per Million British Termal Unit (MMBTU) diturunkan menjadi US$ 6 per MMBTU. 

Kemudian, pada 6 April 2020, menteri ESDM merilis Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Di mana, pasal 3 ayat 1 peraturan itu mengatur harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) ditetapkan sebesar US$6 per MMBTU. 

Lalu, ada tujuh sektor industri yang dapat harga khusus dari kebijakan tersebut, yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan industri sarung tangan karet. Sebagai dampak kebijakan itu, pemerintah merelakan jatahnya dari penjualan migas di hulu dipangkas sekitar US$2 per MMBTU.

Kebijakan pemerintah memangkas harga gas bumi untuk industri tertentu di level US$6 per MMBTU memang jadi bumerang jika tidak didukung insentif pengembang infrastruktur gas bumi. Karena dengan margin yang terbatas, perusahaan akan lebih memilih risiko terendah, yaitu mengelola infrastruktur yang sudah jelas pasokan dan pasarnya.

Untuk itu, Komaidi menilai, akan sangat berat jika memaksa perusahaan yang marginnya dipangkas oleh kebijakan pemerintah untuk membangun infrastruktur gas bumi. Kecuali ada insentif yang memberikan solusi bagi pengembang infrastruktur bahwa bisnis mereka tetap sehat ketika ekspansi.

"Kalau investor melihat investasi di tempat lain, misalnya, bisa dapat IRR 12 persen, sementara di infrastruktur gas bumi IRR-nya lebih rendah, maka tidak akan ada investor yang mau berinvestasi untuk mengembangkan infrastruktur gas," tutur dia.

Dengan melambatnya pengembangan infrastruktur gas, pada akhirnya target pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik sulit terealisasi karena infrastrukturnya tidak tumbuh

Pembangunan infrastruktur gas bumi memang memiliki risiko yang besar. Selain faktor ketersediaan pasokan, penyerapan gas oleh konsumen juga menjadi risiko bagi pengembang infrastruktur gas bumi. Sementara itu, biaya pembangunan infrastruktur gas sangat mahal.

Di sisi lain, kebijakan harga gas US$6 terbukti menguntungkan sejumlah perusahaan swasta. Perusahaan keramik yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan kenaikan laba bersihnya sejak harga baru gas bumi itu diterapkan.

Laba bersih PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) pada kuartal III-2020 melesat 38,31 persen menjadi Rp221,5 miliar dibandingkan periode sama 2019. Hingga kuartal III-2020, naik 38,31 persen secara tahunan. 

Kenaikan laba itu terjadi di saat pendapatan turun 1,1 persen menjadi Rp1,61 triliun. Pengatrol utamanya adalah terpangkasnya beban pokok penjualan sebesar 6,6 persen jadi Rp1,12 triliun. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya