Kejar Produksi Minyak 1 Juta Barel, Tata Kelola Hulu Migas Disoroti

Ilustrasi anjungan lepas pantai (offshore platform)
Sumber :
  • Dok. Pertamina

VIVA – Peningkatan iklim berusaha, sanctity of contract, dan adanya peraturan yang saling mendukung merupakan kata kunci untuk memperbaiki tata kelola hulu migas yang dibutuhkan demi meningkatkan investasi hulu migas Indonesia.

Teknologi Asal Denmark Kini Dorong Produksi Lokal dengan Meningkatkan Pabrik di Jakarta 

Tenaga Ahli Komite Pengawas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Nanang Abdul Manaf, menegaskan, persyaratan itu menjadi mutlak untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar gas kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030.

Hal itu disampaikan Nanang dalam dalam Forum Group Discussion (FGD) Tata Kelola Hulu Migas dalam Mendukung Pencapaian Target Produksi. Menurutnya, Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara yang telah berhasil meningkatkan produksi.

Impor RI Oktober 2024 Naik Capai US$21,94 Miliar

Baca jugaMonopoli Kargo Benur Diduga Sumber Suap Edhy, Tarifnya Rp1.800/Ekor

Sebagai contoh, dia melanjutkan, saat terjadi revolusi Arab Spring, Lybia masih melakukan impor minyak. Tetapi sekarang, mereka telah menjadi eksportir minyak.

Harga Bitcoin Meroket dan Tampak Menguntungkan, Ini 12 Strategi Mulai Investasi Kripto

"Kolombia dan Malaysia, kedua negara itu melakukan perubahan radikal pada sistem tata kelola migas, misalnya untuk lapangan marginal dibuat sesederhana mungkin. Sehingga menarik investor untuk masuk ke lapangan marginal maupun lapangan kecil,” tambah Nanang dikutip dari keterangannya, Jumat 27 November 2020.

Dia menjabarkan, reformasi tata kelola migas di Mesir dan Kolumbia, terjadi sangat dramatikal. Karena setelah dilakukan perbaikan-perbaikan maka hanya butuh waktu tiga tahun untuk membuat produksi negara tersebut meningkat pesat. Kolaborasi dengan stakeholdder telah dilakukan di negara lain hingga akhirnya bisa membangun iklim investasi migas yang menarik investor.

Menurutnya, hal yang sama harus dilakukan Indonesia khususnya di tataran kebijakan, regulasi dan praktik-praktiknya. Karena, jika sektor ini dianggap vital dan penting, maka saat sektor migas berhadapan dengan sektor lain, sektor migas akan menjadi prioritas.

“Keunggulan di Mesir adalah kesucian kontrak PSC-nya disepakati. Tidak ada institusi lain yang bisa men-challenge. Sehingga dalam waktu 30 tahun hak-hak investor yang ada di kontrak PSC di Mesir dilindungi,” tuturnya.

Sementara itu, pengamat energi dari Institut Teknologi 10 Nopember, Mukhtasor, mengatakan, dalam rangka meningkatkan daya saing, ada tiga aspek yang harus dibenahi, yaitu legal, finance, dan operasi. Selanjutnya baru fokus pada aspek governance, risks, dan compliance.

“Penekanan governance agar tercipta tata kelola hulu migas yang akuntabel, transparan dan partisipatif. Untuk mencapai hal ini butuh kekuatan pada aspek kepemimpinan, informasi dan strategi yang tepat,” katanya.

Mukhtasor menegaskan, perbaikan yang harus dilakukan itu termasuk terkait UU Migas. Lambatnya revisi UU Migas menunjukkan industri ini tidak menjadi prioritas negara.

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhi, menegaskan pentingnya sinergi dan kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam mewujudkan tata kelola hulu migas yang baik di Indonesia. Masing-masing ego sektoral yang berbeda harus disatukan dan memberikan stimulus insentif lebih baik fiskal maupun non-fiskal.

“Jika Indonesia tidak memberikan, maka akan kalah dalam bersaing. Target 1 juta barel per hari mustahil bisa direalisasikan,” kata Fahmi. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya