Pembangunan di Era Jokowi, Greenpeace Singgung soal Lingkungan
- VIVA/Purna Karyanto
VIVA – Greenpeace Indonesia mencatat, satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin belum menunjukkan prioritas yang nyata untuk merealisasikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Berbagai sasaran dan strategi pembangunan berkelanjutan dianggap sudah ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, tapi tidak ada realisasinya.
"Terdapat gap yang besar antara strategi besar pembangunan dengan turunan kebijakan dan implementasinya," kata Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya, Jumat, 13 November 2020.
Baca juga: Pegawai Hengkang dari KPK: Ini Bukan Tempat Saya
Pada sektor energi, Tata menilai, terlihat pemerintah masih memprioritaskan energi kotor dari batu bara. Pada 2019, menurutnya porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 62,2 persen.
Di samping itu, dia melanjutkan, alokasi APBN untuk aktivitas Pembangunan Rendah Karbon (LCD) selama 2018-2020 baik secara nominal Rp34,5 triliun, Rp23,8 triliun dan Rp23,4 triliun dan proporsi ke APBN 1,6 persen, 1,4 persen dan 0,9 persen masih rendah.
"Indikasi kuat bahwa semangat transformasi hijau belum jadi bagian penting resep merespons pandemi dan build back better seperti dilakukan banyak negara lain," ujarnya.
Baca juga: Tol Yogyakarta-Bawen Siap Dibangun, Ditargetkan Rampung 2023
Menurut Tata, energi terbarukan seharusnya menjadi prioritas, sebab tipe energi ini terbukti menciptakan lapangan kerja tiga kali lebih banyak daripada batu bara di setiap mata rantai, selain tidak menghasilkan polusi dan gangguan pernapasan.
Oleh sebab itu, Tata menegaskan, pemerintah perlu merevisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan target angka yang lebih ambisius. Sebab, negara tetangga sudah mampu lebih maju.
Thailand, Filipina dan Vietnam menurutnya telah menunjukkan bahwa meningkatkan kapasitas terpasang energi baru dan terbarukan 5-20 kali dalam 5 tahun dan bisa dilakukan.
Soal energi bersih, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya, sebelumnya mengungkapkan, dari sisi pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) maupun pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) Indonesia tertinggal di ASEAN.
Apalagi jika dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand menjadi juara di ASEAN untuk melakukan transformasi bauran energinya.
Dalam satu tahun, dikatakannya, Vietnam mampu menaikkan sumber energi suryanya dari 2018 sebesar 500 megawatt (MW) menjadi lebih dari 4.000 MW alias 4 giga watt GW. Sementara itu, Thailand dari 1 GW menjadi lebih dari 2 GW.
"Jadi kita enggak usah se-Vietnam, se-Thailand saja udah lumayan," tutur dia.