Kisah Relawan Pemulasaran Jenazah COVID-19, Ditolak hingga Dimaki
- VIVA/Zahrul Darmawan (Depok)
VIVA – Selain rentan terpapar, banyak kisah sedih yang juga dirasakan oleh sejumlah relawan pemulasaran jenazah COVID-19. Salah satunya adalah ketika harus berhadapan dengan keluarga pasien yang emosi.
Widiana Pratiwi, satu dari sekian banyak relawan di Kota Depok yang kerap merasakan kesedihan tersebut. Namun nyatanya, hal itu tak membuat ibu dari dua anak ini gentar.
“Dari pertama ada yang keluarga menolak, rumah sakit digebrak-gebrak, dokter dimaki-maki, itu pernah. Bahkan kita kena dimaki juga pernah,” katanya saat berbagi pengalaman dengan VIVA dikutip, Kamis, 12 November 2020.
Baca juga: Pemerintah Sudah Belanjakan APBN Rp1.841 Triliun, untuk Apa Saja?
Awalnya wanita yang akrab disapa Wia itu sempat syok. Namun akhirnya ia mulai terbiasa. “Kita anggap wajar karena memang perlu edukasi dan komunikasi dari hati ke hati, dan kita enggak kesal apa gimana, kita memaklumi,” tuturnya
Wanita 30 tahun ini mengatakan, alasan yang membuatnya tetap kuat dan konsisten menjadi relawan karena panggilan hati. Terlebih, ia telah mendapat restu dan ridho dari keluarga tercinta, khususnya suami dan anak.
“Kebetulan juga sudah sering aksi sosial kemasyarakatan, jadi kalau untuk keluar dalam hal kemanusiaan sudah biasa. Dari situ kita pikir jadikan ini amal jariyah, Insya Allah walaupun takut mas,” ujarnya.
Hal yang pasti, kata Wia, setiap penanganan jenazah selalu menjadikan sebagai pemantik diri. “Terutama kalau kita misalnya seorang muslim apa yang Allah sampein itu bisa jadi pelajaran ketika kita memandikan jenazah,” kata dia.
Kemudian, pengalaman lain yang juga tak kalah menyentuh hati Wia adalah ketika menangani jenazah bayi. “Ketika melakukan pemulasaran terhadap bayi, itu cukup menyentuh juga,” tuturnya.
Ia mengaku, menjadi relawan adalah tantangan. “Pertama kan enggak punya background kesehatan, sebelumnya cuma ibu rumah tangga lah ibaratnya. Lalu saat kita harus menangani jenazah ada rasa takut, terus kedua ketika proteksi diri enggak lengkap,” katanya.
Dulu, lanjut Wia, sebelum dari Damkar alat pelindung diri atau APD hanya ada di kecamatan. “Jadi misalnya kadang saya ke kecamatan ada yang kurang, misalnya sarung tangannya enggak ada atau enggak ada sarung kaki, saya harus ambil ke kecamatan lain. Itu kan juga akhirnya memperlambat waktu.”
Nitip Anak ke Tetangga
Selain itu, sebagai seorang relawan, Wia juga harus siap jika panggilan tugas datang pada saat jam istirahat malam.
“Handphone harus udah stand by. Kadang harus siap juga ninggalin anak, nitipin ke tetangga, waktu itu sudah biasa mas,” tuturnya.
Dengan sederet pengalaman yang dirasakan, Wia pun berharap masyarakat bisa paham dan patuh dengan protokol kesehatan yang dianjurkan oleh tenaga medis melalui pemerintah.
“Walau sudah longgar, banyak katanya ada vaksin atau apa, buat saya terutama proteksi diri aja. Kalau kena nanti yang susah keluarga juga.”