G20 Sepakat Bekukan Utang Negara Miskin Selama Pandemi Corona
- dw
Menteri keuangan dan gubernur sentral negara-negara anggota G20 sepakat untuk “melakukan semua yang diperlukan” untuk memulihkan perekonomian global dan menjaga stabilitas keuangan. Kelompok gabungan perekonomian terbesar di dunia itu menegaskan penanggulangan wabah merupakan prioritas utama.
Dalam sebuah pernyataan panjang seusai KTT virtual, G20 mengaku telah menyepakati “kerangka kerja umum” untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah yang menghadapi tunggakan utang senilai USD 14 miliar atau sekitar Rp 206 triliun. Butir tersebut mengakomodasi Cina yang merupakan kreditor besar bagi banyak negara miskin, namun menolak penghapusan utang selama pandemi, lapor Reuters.
Dalam hal ini G20 juga sepakat memperpanjang Inisiatif Layanan Penangguhan Utang (DSSI) yang membekukan pembayaran utang bilateral hingga akhir tahun, dan bisa diperpanjang selama enam bulan pada April 2021.
“Kerangka kerja umum ini adalah pencapaian historis dan terobosan besar dalam agenda utang internasional. Hal ini memungkinkan pengelolaan utang yang tertib dan tepat waktu bagi negara-negara yang memenuhi syarat untuk DSSI,” kata Mohammed al-Jadaan, Menteri Keuangan Arab Saudi.
Analisa ekonomi teranyar memprediksi ketimpangan baru di antara negara ekonomi maju yang mampu pulih dengan lebih cepat, dan negara berkembang yang diyakini akan kesulitan mengelola utang-utangnya.
Namun demikian, keputusan G20 tidak melibatkan sektor swasta dalam moratorium utang. Sebab itu analis mendesak agar kreditur swasta ikut bergabung menunda pembayaran tunggakan utang, jika diminta negara.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, mengatakan sejauh ini hanya tiga negara yang mau berunding dengan kreditur swasta, karena khawatir akan menurunkan peringkat kredit atau bakal kesulitan mendapatkan dana pinjaman baru di masa depan.
Ketimpangan sosial dan ekonomi
G20 menekankan pentingnya memitigiasi dampak wabah terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan, termasuk perempuan dan kaum muda. Hal ini tercipta lantaran laju pemulihan ekonomi di berbagai negara yang “tidak imbang dan penuh ketidakpastian.”