Beredar Omnibus Law Ciptaker dari Pesangon hingga Cuti, Ini Faktanya
- ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
VIVA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang. Seiring dengan itu banyak penolakan di tengah masyarakat, pekerja atau buruh.
Selain itu, juga terdapat berbagai hoax yang beredar mengenai RUU tersebut yang jika dirujuk ke draf UU Ciptaker-nya keliru atau di luar konteks yang tertuang dalam undang-undang sapujagat tersebut.
Baca juga:Â Emil Buka Diskusi Omnibus Law di Medsos, Annisa Yudhoyono: Sehat Kang?
Berikut fakta-fakta yang dirangkum VIVA:
1. Pesangon
Salah satu narasi hoax yang sering muncul adalah dihilangkannya uang pesangon. Padahal jika dirujuk berdasarkan undang-undang tersebut, diatur di dalam BAB IV Ketenagakerjaan, mulai dari pasal 156.
Akan tetapi, UU tersebut memang menghapus beberapa ketentutan yang tertuang dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Misal, pasal 164 mengenai pemberian pesangon jika perusahaan efisiensi.
2. Status Pekerja
Narasi selanjutnya terkait tidak adanya status karyawan tetap dan status karyawan kontrak ataupun outsourcing yang bisa seumur hidup. Berbeda dengan UU Ketenagakerjaan pasal 59.
Dalam UU Cipta Kerja, pasal 59 UU Ketenagakerjaan memang diubah. Tidak lagi ada ketentuan status pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu paling lama dua tahun dan hanya bisa diperpanjang satu kali.
Hanya saja, perjanjian kerja waktu tertentu atau ketentuan status pegawai kontrak, baik jangka waktu dan selesainya dalam UU Cipta Kerja ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.
Sementara itu, status terkait pekerja tetap atau yang diistilahkan dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu masih tetap ada dan dicantumkan dalam pasal 56 seperti di UU Ketenagakerjaan.
3. Ketentuan PHK
Kemudian, beredar juga narasi terkait kebebasan perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pekerjanya dalam UU Cipta Kerja. Dalam UU Ketenagakerjaan PHK diatur khusus dalam BAB XII.
Sementara itu, jika dilihat di UU Cipta Kerja, ketentuan PHK tertuang mulai pasal 151 BAB IV Ketenagakerjaan. Tidak ada ketentuan yang membolehkan perusahaan melakukan PHK secara sepihak dan tanpa ada proses.
Namun, memang pasal 151 diubah, misalnya tidak lagi ada kata-kata harus dirundingkan dulu dengan serikat pekerja atau pekerjanya itu sendiri. Selain itu, pasal 152 dihapus dan adanya ketentuan kewenangan perusahaan melakukan PHK dalam pasal 154A.
Misalnya PHK dapat dilakukan bila perusahaan efisiensi, pailit, rugi hingga pekerja mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
4. Upah Buruh Dihitung Per Jam
Selanjutnya beredar narasi mengenai upah buruh yang dihitung perjam. Untuk ketentuan ini pada dasarnya tidak ada beda dengan UU Ketengakerjaan. Hanya saja ada pembaruan dalam UU Cipta Kerja.
Dalam UU Ketenagakerjaan ketentuan pengupahan memiliki istilah upah minimum yang diatur pemerintah. Sementara itu, dalam UU Cipta Kerja ada ketentuan Pasal 88B bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil.
Selain itu, pasal 89 dan 90 dalam UU Ketenagakerjaan juga dihapus. Pasal itu berisi mengenai ketentuan upah minimum serta adanya ketentuan pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
5. Hilangnya Hak Cuti
Narasi hoax terakhir yang muncul adalah hilangnya semua hak cuti dan tidak ada kompensasi. Jika dilihat di draf Undang-Undang Cipta Kerja, hak-hak tersebut masih tertera seperti di UU Ketenagakerjaan. Hanya saja ada modifikasi.
Misalnya, untuk istirahat mingguan sebelumnya bisa dapat 1 hari untuk 6 hari kerja dan 2 hari untuk 5 hari kerja menjadi hanya sebanyak 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu. Artinya libur 2 hari ditiadakan.
Sementara itu, cuti tahunan masih sama 12 hari dalam satu tahun. Sedangkan cuti atau istirahat panjang dua bulan tidak diatur dan ketentuan haid juga tidak diatur. Semua itu hanya dibolehkan diatur dalam perjanjian kerja ataupun peraturan perusahaan. (ase)