Demokrat Beberkan Pasal-pasal Bermasalah dalam UU Cipta Kerja
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA – Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan. Menurutnya, secara substansial, RUU Cipta Kerja lebih banyak mengakomodasi kepentingan pebisnis, sementara kelompok rentan seperti nelayan, petani, pekerja, UMKM, tidak diperhatikan.
"Hanya memberikan legalisasi, dekriminalisasi terhadap pebisnis-pebisnis yang selama ini melakukan perambahan hutan. Bagaimana kita menyetujui RUU seperti ini," kata anggota Komisi III DPR RI itu, Selasa, 6 Oktober 2020.
Menurut Benny, ketika masuk kembali ke Panja setelah tidak turut serta dalam pembahasan, Fraksi Demokrat juga meminta Klaster Ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Sebab, setelah dianalisis dan mendengar berbagai pandangan, termasuk dari kalangan pekerja melalui pimpinan-pimpinan federasi buruh, Demokrat melihat hak-hak pekerja tidak diperhatikan dalam RUU ini.
Baca: UU Cipta Kerja: Jatah Libur Buruh Cuma 1 Hari dalam Sepekan
Sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan juga dianggap bermasalah dan merugikan. "Yang paling nyata adalah ketentuan tentang pesangon, misalnya. Pesangon itu sesuai undang-undang eksisting adalah 32 kali gaji. Ini dipotong, pengusaha hanya tanggung jawab 16 kali. Lalu pemerintah dikasih tanggung jawab 9 kali. Itu pun mekanismenya asuransi. Bayangkan, duit dari mana pemerintah bayar itu, apalagi dalam situasi ekonomi sulit ini," kata Benny.
Berikut ini sejumlah pasal yang dipermasalahkan dalam UU Cipta Kerja yang mengatur tentang ketenagakerjaan:
- Pasal 59 yang mengatur tentang kontrak kerja. Dalam bagian ini, UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
- Pasal 59 ayat (4) menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.
Padahal sebelumnya pada UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan bagi pengusaha untuk mempekerjakan pekerja dengan kontrak tanpa ada batas.
- Pasal 79 tentang pemotongan hari libur dua hari dalam satu minggu sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan. Pada Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
- Pasal 79 juga diubah dan menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
- Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
- Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
- Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
- Pasal 88 yang mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.
- Pasal 88 Ayat (3) menyebutkan tujuh poin kebijakan pengupahan. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan ada 11 poin kebijakan pengupahan yang ditetapkan pemerintah.
Tujuh kebijakan pengupahan RUU Ciptaker, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 88 Ayat (4) menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah". (ase)