Investasi Asing di Industri Pelayaran Dinilai Ancam Kedaulatan Maritim

Carmelita Hartoto, Ketua DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional
Sumber :
  • VIVAnews/Agus Rahmat

VIVA – Pembahasan Omnibuslaw Cipta Kerja hampir rampung dilakukan Pemerintah dan DPR. Aturan ini diharapkan bisa membuat iklim usaha di Indonesia bisa lebih kondusif, baik untuk pengusaha maupun pekerja, dengan tidak mengesampingkan aspek kepentingan pelaku usaha nasional.

Posisi Investasi Internasional Indonesia Naik Jadi US$274,0 Miliar di Kuartal III-2024

Indonesian National Shipowners Association (INSA) menegaskan sepenuhnya mendukung RUU Cipta Kerja, selama kepentingan sektor pelayaran dalam negeri tetap berdaulat di wilayah NKRI.

Karena itu, wacana membuka investor asing dalam kepemilikan kapal berbendera Indonesia untuk kegiatan angkutan muatan dalam negeri dinilai dapat meredupkan kekuatan industri maritim dalam negeri.

Kantongi Investasi Rp295 Triliun usai Kunjungan 5 Negara, Prabowo Subianto: Alhamdulillah!

Baca juga: Bea Materai jadi Rp10 Ribu, Dirjen Pajak: Sudah 20 Tahun Enggak Naik

Ketua Umum INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, hal tersebut tidak sejalan dengan UU No 17 thn 2008 tentang Pelayaran khususnya pasal 8 dan pasal 57. Penerapan aturan kapal berbendera merah putih atau asas cabotage juga ditegaskan dalam Inpres No 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Pelayaran No 17 tahun 2008.

Daftar Proyek yang di-Groundbreaking Jokowi Hari Ini, Ada Murni Investor Asing

Menurutnya, jika asas cabotage coba dibuka, maka Indonesia akan kehilangan kekuatàn potensi maritim nasional di sektor pelayaran. Industri dalam negeri ditegaskan harus bisa dilindungi pemerintah.

“Ini bukan berarti kita anti asing, tapi harusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal merah putih,” ujar Carmelita dikutip dari keterangannya, Rabu 30 September 2020.
 
Carmelita juga menambahkan penerapan asas cabotage juga tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Amerika, Jepang, Tiongkok dan negara-negara maju lainnya. Karena itu hal ini harus menjadi perhatian pemerintah.

Sementara itu, Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim mengatakan, investasi asing di industri pelayaran tidak sama dengan investasi asing di sektor manufaktur dan infrastruktur yang membawa dana dan membuka lapangan pekerjaan. Sebab, kapal sebagai asset bergerak sangat mudah dipindahtangankan dan berganti bendera negara. 

Keuntungan pelayaran asing juga akan dibawa balik ke negara mereka, yang artinya devisa negara akan lari ke luar negeri. Kondisi ini juga akan membebani neraca pembayaran Indonesia.

Menurutnya, alih-alih mendorong perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja, investasi asing di industri pelayaran justru mengancam lapangan kerja dan ekosistem di industri pelayaran nasional.

“DPP INSA menilai konsistensi penerapan asas cabotage merupakan harga mati dan bersifat wajib untuk negara. Dengan begitu, kedaulatan negara terjaga dan perekonomian nasional dapat terus tumbuh,” tegasnya.

Tak hanya itu, dia mengatakan, kapal asing yang masuk dikhawatirkan akan berpengaruh pada industri galangan kapal dalam negeri. Ketika kapal asing masuk dan memilih mengunakan galangan luar atau miliknya sendiri, artinya ini sebuah kehilangan bagi industri galangan kapal dalam negeri.

Wakil Ketua Umum III DPP INSA Nova Y Mugijanto mengatakan, asas cabotage telah berdampak positif terhadap serapan tenaga kerja di industri pelayaran dan ekosistem industri di sekitarnya. Seperti logistik, galangan, asuransi, klasifikasi Indonesia, industri komponen, konsultan design kapal, lembaga sekolah dan pelatihan SDM pelaut dan lainnya.

Nova mencontohkan, misalnya bisnis kapal roro penumpang saat ini sudah oversupply, mengingat utilisasi kapal di bawah 50 persen. Kondisi ini semakin parah saat terjadi pembatasan pergerakan orang saat COVID-19. 

Artinya relaksasi investasi asing di bidang kapal roro penumpang justru akan berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup usaha kapal. Ketersediaan lapangan pekerjaan pun terancam berkurang.

“Sehingga bisa berpotensi akan terjadi PHK massal baik di pelayaran maupun industri penunjangnya,” tegasnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya