Andre Rosiade Desak Kementerian BUMN dan Kominfo Atur Netflix Cs
- VIVAnews/Andri Mardiansyah
VIVA – Anggota Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade menyoroti semakin bergantungnya masyarakat Indonesia terhadap layanan Over The Top (OTT) asing, seperti Netflix dan sejenisnya. Politikus Partai Gerindra itu menyebut banyak masyarakat yang mengeluh mengenai lambatnya internet. Khususnya selama pandemi COVID-19 ini.
“Ternyata saya mendapatkan data bahwa dominasi layanan OTT seperti Netflix memberatkan kualitas internet. Ujung-ujungnya keluhan masyarakat dialamatkan kepada operator, padahal OTT yang membebani bandwidth operator hanya menumpang secara gratis," ungkap Andre dikutip dari keterangan tertulis, Senin 28 September 2020.
Menurut Andre, traffic Netflix dan layanan OTT lainnya memakan banyak bandwidth internet sehingga mengganggu internet publik di masa pandemi ini. Apalagi banyak yang membutuhkan, seperti untuk kepentingan pendidikan, webinar, layanan kesehatan, perkantoran juga pemerintahan. Semuanya menjadi lebih lambat.
Padahal, lanjut dia, internet berkualitas adalah keinginan banyak pihak, apalagi di masa COVID-19 ini.
"Oleh sebab itu, saya mendesak kepada Kementerian BUMN untuk segera berkomunikasi dengan Kominfo dalam rangka menerbitkan regulasi terkait dengan OTT," kata dia.
Baca juga: Ma’ruf Amin Sebut Indonesia Alami Dampak Ekonomi yang Berat
Operator dalam negeri seperti Telkom, lanjut dia, sudah habis-habisan berinvestasi dalam rangka menyediakan jaringan hingga pelosok negeri. "Tetapi ternyata habis untuk OTT yang tidak begitu banyak berkontribusi untuk kepentingan nasional kita, akhirnya internet kita menjadi lambat," katanya.
Untuk itu, dia berharap terjadi kolaborasi antara operator dan OTT, sehingga terdapat pengaturan penggunaan bandwidth yang seimbang. "Dengan demikian akan menguntungkan masyarakat secara umum, operator dan juga pelaku bisnis OTT,” ucapnya.
Lebih lanjut, Andre menjelaskan bahwa OTT memang telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh negara melalui Perppu 1/2020 yang dipertegas dengan Permenkeu 48/2020. Namun, PPN tersebut dibebankan kepada masyarakat. Dalam Perpu 1/2020 juga telah ada landasan hukum untuk mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) kepada OTT, namun detailnya harus segera diatur dalam Permenkeu.
Andre juga menambahkan, saat ini regulasi yang ada berlaku secara asimetris. Industri telekomunikasi diatur dengan sangat ketat baik pajak maupun kewajiban PNBP lainnya termasuk kewajiban untuk mengembangkan jaringan ke daerah-daerah terpencil, sedangkan OTT relatif tidak terikat oleh aturan tersebut.
Hal ini membuat persaingan cenderung menjadi tidak sehat. Oleh sebab itu operator telekomunikasi tidak mendapat apa-apa dari menjamurnya OTT. Andre Rosiade juga menyoroti perihal absennya regulasi teknis terkait dengan OTT. Menurutnya, regulasi teknis terkait tentang OTT mendesak untuk segera diterbitkan demi menjaga kepentingan nasional.
“Absennya regulasi yang mengatur OTT menimbulkan persepsi bahwa OTT hanya memanfaatkan jaringan yang sudah dibangun oleh operator tanpa memberikan keuntungan finansial untuk operator yang sudah berinvestasi dalam membangun jaringan. Padahal dengan menjamurnya OTT, pendapatan utama operator dari voice dan messaging turun luar biasa,” tegasnya.
Untuk itu, Andre mengingatkan agar OTT dapat bersikap seperti teman, dapat mendukung penyelenggara jaringan (operator). Di sisi lain, operator juga harus merangkul OTT dengan pendekatan bisnis yang tepat.
“Kita tahu bahwa kita tidak dapat menolak perubahan, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Bisnis berubah dari voice & messaging menjadi pemanfaatan data. Operator maupun OTT harus dapat bersinergi. Operator harus memandang bahwa OTT as a friend. Untuk itu aturan yang tegas dan adil dibutuhkan untuk menjaga kepentingan nasional kita,” tutup dia. (ren)