Ini 7 Substansi Pokok Omnibus Law yang Akan Ubah UU Ketenagakerjaan
- ANTARA FOTO/Risky Andrianto/foc.
VIVA – Pemerintah mengusulkan tujuh substansi pokok perubahan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.
Usulan tersebut disampaikan saat rapat antara pemerintah dengan Badan Legislasi DPR yang digelar, Sabtu, 26 September 2020. Rapat mengenai klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law Cipta Kerja.
"Kami mengusulkan 7 substansi pokok yang perlu kita bahas dan perlu mendapat kesepakatan," kata Staf Ahli Kemenko Perekonomian Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi, Elen Setiadi sebagai perwakilan pemerintah saat rapat tersebut.
Baca juga: Besaran Pesangon PHK Diubah dalam Omnibus Law Ciptaker, Ini Alasannya
Perubahan pertama, kata Elen terkait waktu kerja. Waktu kerja rigid, paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk lima hari kerja dikatakannya tetap dipertahankan namun ada penambahan.
Penambahan itu berupa adanya pengaturan waktu kerja untuk pekerjaan khusus yang waktunya dapat kurang dari 8 jam per hari atau pekerjaan yang melebihi 8 jam per hari, seperti sektor pertambangan hingga pertanian.
Perubahan kedua, katanya terkait Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Melalui RUU Cipta Kerja, kemudahan RPTKA hanya untuk TKA Ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu.
"Kita tidak ingin semua dibuka hanya untuk yang betul-betul diperlukan dan punya keahlian tertentu seperti maintenance darurat, vokasi, peneliti serta investor atau buyer," tuturnya.
Perubahan ketiga, Elen mengatakan mengenai pekerja kontrak. Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, pekerja kontrak akan diwajibkan menerima hak dan perlindungan sebagaimana pekerja tetap.
Perubahan keempat, terkait pekerja alih daya atau outsourcing yang seperti pekerja kontrak. Mereka akan mendapat hak seperti upah yang sama seperti pekerja tetap, jaminan sosial, hingga perlindungan K3.
Adapun perubahan kelima, berkaitan dengan upah minimum. Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimun tidak lagi dapat ditangguhkan dan kenaikannya menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas.
Perubahan keenam, bersangkutan dengan pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pesangon PHK tidak lagi dengan perhitungan 32 kali upah melainkan disesuaikan karena dianggap memberatkan pelaku usaha dan mengurangi minat investor.
Perubahan ketujuh bukan dalam bentuk mengubah, melainkan menambah program baru, berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Melalui program itu pekerja yang terkena PHK mendapat cash benefit, vocational training serta job placement access.
Akan tetapi, mereka tetap akan mendapat jaminan sosial lainnya seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian dan jaminan kesehatan nasional.
"Jadi ini pemerintah tetap memberikan jaminan kesejahteraan bagi semua masyarakat, termasuk pekerja. Dengan demikian kita memerlukan perubahan UU Ketenagakerjaan," kata Elen.