Salah Satu Alasan Mengapa Produk Asuransi Jiwa Alami Gagal Bayar
- U-Report
VIVA – Dalam beberapa waktu terakhir Indonesia dihadapi dengan munculnya kasus gagal bayar investasi di beberapa perusahaan asuransi jiwa. Kondisi tersebut membuat wajah industri asuransi nasional menjadi kacau.
Pengamat Hukum Bisnis dan Asuransi Universitas Airlangga Surabaya, Budi Kagramanto, menilai banyaknya kasus tersebut disebabkan oleh perusahaan asuransi yang seharusnya hanya menjamin jiwa pemegang polis justru memberikan garansi imbal hasil pasti atau fixed return melalui produk asuransi berbalut investasi.
Ia mencontohkan, dua perusahaan asuransi yang kini tengah menjadi sorotan publik, yakni Asuransi Jiwa Kresna Life dan Asuransi Jiwasraya. Dua perusahaan tersebut sama-sama menjanjikan imbal hasil tinggi kepada para pemegang polis yang membeli produknya.
Baca juga: Pengamat: Pengembalian Dana Jiwasraya Jadi Preseden Buruk Pasar Modal
Kresna Life misalnya, kata dia, asuransi ini menjanjikan return sekitar 9 persen untuk dua produknya yaitu Kresna Link Investa (K-LITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK). Sementara Asuransi Jiwasraya menjamin imbal hasil antara 9-13 persen melalui produk JS Saving Plan.
Budi menjelaskan, kehadiran produk tersebut sejatinya ditujukan untuk menarik masyarakat membeli produk asuransi. Namun, produk tersebut justru disalahgunakan. Sebab dibumbui dengan janji imbal hasil pasti dengan return tinggi.
Untuk memenuhi janjinya itu, kata Budi banyak perusahaan asuransi yang kemudian menempatkan dana nasabahnya di instrumen saham yang sejatinya berisiko tinggi dan fluktuatif, karena tidak memiliki garansi atas imbal hasilnya.
Dalam kasus Jiwasraya hampir semua penempatan dana perusahaan, baik investasi secara langsung maupun melalui manajer investasi (MI), dialokasikan ke instrumen saham-saham tertentu di Bursa Efek Indonesia.
“Bunga yang dijanjikan tidak masuk akal, tinggi sekali, bisa memberatkan perusahaan asuransi. Sekarang kejadian juga kalau perusahaan asuransi itu gagal bayar karena kondisi bursa anjlok,” kata Budi kepada media, Selasa 8 September 2020.
Budi juga mempertanyakan peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi dan memeriksa produk-produk investasi yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi.
“Kenapa OJK memperbolehkan asuransi memberikan return tinggi dan fixed, bukankah itu melanggar aturan. OJK seharusnya sudah prediksi ini membahayakan dan bakal jadi bom waktu bagi perusahaan asuransi. Terbukti sekarang bomnya meledak,” tegas Budi.
Selain itu, Budi menuturkan banyak perusahaan asuransi yang tidak memberikan informasi secara benar kepada calon nasabah. Padahal beberapa regulasi mewajibkan perusahaan memberikan informasi secara detail. Contohnya Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen, hingga Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
"Pasal 251 KUHD secara jelas ditujukan untuk perusahaan asuransi wajib memberikan informasi yang benar kepada tertanggung atau pemegang polis. Jangan yang disampaikan hanya keuntungan saja,” ujarnya. (ren)