Sektor Industri RI Bisa Jadi Pemain Global Saat Pandemi, Ini Caranya
- Dokumentasi PT Grand Kartech Tbk.
VIVA – Ekonomi dunia yang terguncang oleh pandemi virus corona saat ini, disebut membuka peluang bagi sektor industri Indonesia untuk meningkatkan daya saing. Khususnya dengan menjadi bagian dari dalam rantai pasok industri global.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Lektor Kepala Universitas Nasional, Jakarta, I Made Adnyana, mencontohkan saat dunia menghadapi pandemi COVID-19, nilai neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2020 mengalami surplus US$743,4 juta. Dengan nilai ekspor US$14,09 miliar dan impor US$13,35 miliar.
Fakta itu, menurutnya, menunjukkan produk Indonesia masih eksis di pasar global. Hal itu disampaikannya dalam Webinar bertajuk 'Mengukur Dampak Stimulus Ekonomi Terhadap Kegiatan Ekspor dan Impor di Masa Pandemi COVID-19', Kamis, 3 September 2020.
Baca juga: 8 Bandara Internasional Dikabarkan Bakal Turun Kasta Jadi Domestik
“Angka surplus itu menggembirakan di tengah situasi saat ini yang tidak menentu," ujar Adnyana.
Tak hanya itu, Adnyana menambahkan, neraca perdagangan RI selama Januari–Maret 2020 juga nyatanya mengalami surplus US$2,62 miliar saat pandemi mulai melanda dunia. Dengan nilai ekspor sebesar US$41,79 miliar dan impor US$39,17 miliar.
"Posisi ini masih jauh lebih bagus dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mengalami defisit US$62,8 juta,” katanya.
Senada dengan Adnyana, Peneliti INDEF Abdul Manap Pulungan mengatakan, beberapa subsektor ekonomi pun tumbuh positif di masa pandemi COVID-19. Seperti industri makanan dan minuman, industri kimia, farmasi dan obat tradisional, serta industri logam dasar.
"Pasar kita memiliki ukuran daya saing yang sangat tinggi, menempati peringkat ketujuh terbesar di dunia," kata Abdul Manap.
Terkait dengan gelombang new normal dalam beradaptasi menghadapi Corona, Adnyana mengakui, sebagian besar badan usaha saat ini fokus dalam gelombang stabilisasi dengan menerapkan langkah-langkah taktis untuk mempertahankan nilai bisnis. Termasuk analisis likuiditas, perencanaan skenario operasional, dan penilaian berbagai program stimulus pemerintah.
Karena itu, dia mengingatkan, harus selalu ada perencanaan untuk masa depan. Misalnya memanfaatkan teknologi.
“Optimalkanlah segala sumber daya yang ada, termasuk lebih memaksimalkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pada bisnis Anda,” tutur Adnyana.
Menurut Adnyana, masa new normal ini telah memunculkan peluang bagi Indonesia menjadi supplier bahan baku atau barang setengah jadi di pasar dunia. Sehingga, pada akhirnya dapat mengurangi ketergantungan produksi pada Tiongkok.
“Sektor industri manufaktur domestik bisa menjadi bagian dalam rantai pasok industri global,” ujarnya.
Meski demikian, Ketua Komite Anti Damping Indonesia (KADI) Bahrul Chairil mengingatkan, meningkatnya hambatan ekspor impor selama pandemi COVID-19, terutama untuk beberapa komoditas pangan dan kesehatan. Hal itu harus bisa disiasati.
"Solusinya kita harus tingkatkan kerja sama perdagangan internasional," tutut Bahrul.
Saat ini, menurutnya, ada sekitar 25 lebih negosiasi kerja sama perdagangan yang harus dituntaskan. Hal itu harus jadi perhatian pemerintah.
Selain itu, lanjut Bahrul, untuk mendukung upaya bangkitnya industri dalam negeri di tengah pandemi COVID-19 ini, diperlukan upaya pengendalian impor yang masuk ke Indonesia. Sehingga dapat memberikan ruang bagi industri untuk bangkit dan berkembang dalam situasi yang sulit seperti ini.
Lebih lanjut, Adnyana meminta pemerintah agar terus mendorong pemulihan ekonomi ke depannya. Dengan tetap memastikan terjaganya protokol kesehatan, serta penguatan berbagai dukungan kebijakan. (ase)