Pertamina Tekor, Arcandra: Hampir Semua Perusahaan Migas Merugi

Komisaris Utama PGN dan Mantan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar (kanan)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

VIVA – PT Pertamina mengalami kerugian mencapai US$767,91 juta atau setara Rp11,13 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS) pada semester I-2020. Hal ini terjadi karena pandemi COVID-19 yang terus meluas di seluruh dunia.

Kenapa SPBU Asing Kesulitan Bertahan di Indonesia? Ini Penyebabnya!

Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang juga mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ` menyebut semua perusahaan migas juga mengalami kerugian dalam jumlah besar selama kuartal II-2020.

"Pandemi COVID-19 yang terus meluas di seluruh dunia telah memaksa perusahaan migas global melakukan strategi berbeda untuk tetap bertahan. Dari data Forbes terungkap hampir semua perusahaan migas mengalami kerugian dalam jumlah besar selama kuartal II-2020," ujar Arcandra dikutip dari laman Instagramnya, Selasa 25 Agustus 2020. 

Diikuti 12.300 Pelari, Pertamina Eco RunFest 2024 Sukses Digelar di Istora Senayan

Baca juga: Alami Kerugian Rp11 Triliun, Begini Alasan Pertamina

Dia menjabarkan, Royal Dutch Shell melaporkan kerugian hingga US$18,4 miliar, Total merugi US$8,4 miliar, British Petroleum (BP) rugi US$6,7 miliar dan kerugian Exxon Mobil sebesar US$1,3 miliar. 

Yayasan Kesehatan Bangun Ekosistem Layanan Berkelanjutan Lewat Digitalisasi

"Hanya Saudi Aramco yang tetap meraih laba sebesar US$6,6 miliar," kata dia. 

Dia menjelaskan, dua faktor utama yang menyebabkan perusahaan migas dunia merugi adalah penurunan harga minyak dan melemahnya konsumsi minyak akibat pandemi. Arcandra menilai kerugian ini adalah yang terburuk dalam sejarah. 

"Harga minyak dunia selama kuartal II yang sempat melemah hingga di bawah US$30 per barel, menjadi beban berat bagi perusahaan migas dengan biaya produksi tinggi," ungkap mantan wakil komisaris utama Pertamina itu. 

Di Amerika, sambung dia, sebagian besar sumur minyak adalah offshore (lepas pantai) dan unconventional atau shale oil. Produksi minyak di sana berkisar di atas US$40 per barel.

Sementara itu, di Arab Saudi, sambung dia, dengan rata-rata biaya produksi berkisar di bawah US$20 per barel, dampak penurunan harga minyak masih terkendali. 

"Inilah yang membuat Saudi Aramco tetap mencatat laba positif di saat hampir semua kompetitornya merugi," kata dia. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya