Kenapa APBN Berperan Penting dalam Hindari Resesi? Ini Jawabannya
- VIVAnews/Nurcholis Anhari nLubis
VIVA – Anggota Tim Asistensi Menko Perekonomian, Raden Pardede menegaskan, hal terpenting yang mesti diperhatikan oleh pemerintah dalam upaya menghindari resesi ekonomi adalah mengatur kebijakan terkait fiskal sebagai kunci penggerak roda perekonomian.
Karena itu, Raden memastikan bahwa berbagai kebijakan terkait stimulus fiskal, saat ini tengah digenjot oleh pemerintah guna memicu pergerakan ekonomi. "Jadi kalau dalam situasi krisis seperti ini, bisnis yang bisa berfungsi optimal adalah bisnisnya pemerintah melalui kebijakan fiskal," kata Raden dalam telekonferensi, Senin, 10 Agustus 2020.
Dia melanjutkan, "Karena kalau pihak swasta kan masih sangat berhati-hati (menjalankan bisnis).”
Baca juga: Cegah Resesi Ekonomi, Pemerintah Gelontorkan Belanja Besar-besaran
Raden mengatakan, sebagai dampak dari penggenjotan stimulus fiskal semacam itu maka defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dipastikan memang akan membengkak di atas 5 persen.
Sebab, terdapat sejumlah penganggaran yang akan digunakan sebagai anggaran belanja, guna memberikan stimulus kepada para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan masyarakat, misalnya melalui bantuan tunai.
"Jadi harus paham, kalau defisit hampir 5,3 persen ke atas, itu karena adanya program pemerintah sebagai upaya agar ekonomi tetap berjalan," ujarnya.
Diketahui, pemerintah telah menyiapkan dana hingga Rp695,2 triliun, guna menangani pandemi COVID-19. Hal itu seiring langkah mengubah susunan APBN 2020 melalui Perpres Nomor 72/2020 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.
Dalam beleid tersebut, Presiden Joko Widodo juga menurunkan target penerimaan negara dari Rp1.760,88 triliun menjadi Rp1.699,94 triliun. Sementara, belanja negara justru naik dari Rp2.613,81 triliun menjadi Rp2.739,16 triliun.
Dengan selisih itu, pemerintah dalam Perpres Nomor 71/2020 memproyeksi defisit APBN 2020 akan mencapai sebesar Rp1.039,2 triliun, atau setara dengan 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).