Hal yang Dibutuhkan RI bila Ingin Bangun Pasar Energi Terbarukan
- Antara/ Syaiful Arif
VIVA – Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, F.X. Sutijastoto menegaskan, saat ini Peraturan Presiden atau Perpres terkait harga energi baru terbarukan atau EBT sudah sangat dibutuhkan.
Pria yang akrab disapa Toto itu menjelaskan, sejak adanya kebijakan harga yang hanya mengandalkan peraturan menteri, hingga saat ini kontrak-kontrak yang bisa dilakukan di ranah EBT masih sangat terbatas.
"Untuk membangun level EBT, harga EBT nanti ditentukan melalui perpres dan ini sangat urgen dalam membangun (ekosistem) supaya EBT kompetitif," kata Toto dalam telekonferensi, Selasa 28 Juli 2020.
Baca juga:Â Kadin Proyeksi Ekonomi RI Bakal Negatif Dua Kuartal, Akankah Resesi?
Toto menekankan, urgensi Perpres EBT ini harus segera direalisasikan, mengingat potensi EBT nasional sudah cukup besar, yakni mencapai sekitar 440 megawatt. Namun, hingga saat ini baru bisa terimplementasi 10,4 persen, di mana capaian pada Mei 2020 hanya tercatat 2,4 persen.Â
"Realisasi bauran EBT baru 9,15 persen dari target 23 persen tahun 2025. Jadi, kalau 10,4 persen dibandingkan PLTS, namun dalam bauran energi primer masih 9,15 persen. Jadi PR kita adalah bagaimana mencapai 23 persen untuk 2025," ujar Toto.
Toto menegaskan, hal inilah yang menyebabkan terjadinya gap yang cukup tinggi, sehingga perpres ini sangat urgen karena pasar EBT di Indonesia masih berada dalam skala kecil. Hal itu menyebabkan pasar EBT di Indonesia belum bisa masuk ke dalam skala keekonomiannya, sebagaimana dicontohkan melalui PLTS.
"Pabrikan-pabrikan PLTS kita itu baru solar panel kapasitas kecil-kecil. 40 MW, 50 MW, paling besar 100 MW. Nah, ini yang menyebabkan kemudian pabrikan solar panel bahan bakunya solar cell masih impor, impornya ketengan, pengolahan kecil-kecil akibatnya harganya masih cukup tinggi," kata Toto.
Selain itu, lanjut Toto, perpres ini sangat urgen karena pengembangan EBT menciptakan nilai-nilai ekonomi baru yakni sebagai energi bersih. Kemudian, menciptakan investasi nasional dan daerah, pengembangan PLTA dan PLTMA di daerah-daerah, serta menciptakan industri EBT dalam negeri.
Kemudian, perpres ini juga akan mendorong munculnya pengusaha-pengusaha EBT dalam negeri, dan meningkatkan ketahanan energi serta ekonomi nasional. Karena, banyak sumber dari EBT yang ada di dalam negeri, sehingga diharapkan mampu mendorong Indonesia keluar dari defisit neraca perdagangan.
"Perpres harga EBT ini juga memberikan net benefit yang positif, seperti energi bersih dan harga listrik yang terjangkau. Pertumbuhan industri dan ekonomi dalam negeri akibat listrik terjangkau juga akan berkembang di samping industri EBT itu sendiri," tutur Toto.
"Kemudian, akan ada keamanan energi karena harga EBT keekonomiannya wajar, serta akan ada penciptaan nilai tambah. Jadi, cost-nya memang bagi pemerintah adalah untuk menyiapkan insentif fiskal dan perpajakan," ujarnya. (art)