Serikat Pekerja: Holding Pertamina Langgar UUD 1945
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, mengeluarkan Surat Keputusan No. Kpts-18/C00000/2020-S0 tanggal 12 Juni 2020 tentang "Struktur Organisasi Dasar PT Pertamina (Persero)" yang merupakan tindak lanjut Surat Keputusan Menteri BUMN No. SK-198/MBU/06/2020.
Melalui SK yang dikeluarkan dan ditandatangani Nicke, usai menggelar RUPS pada Jumat 12 Juni 2020 itu, Pertamina akan segera membentuk dan menetapkan subholding serta anak perusahaan.
Menanggapinya, Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI), Muhammad Syafirin mengatakan, pihaknya prihatin dan kecewaannya atas hasil RUPS dan terbitnya SK No. Kpts-18/C00000/2020-S0 tersebut.
"Karena SK tersebut memberikan ruang Pertamina menuju privatisasi dengan konsep holding. Lahirnya aturan ini juga cacat hukum," kata Syafrin dalam keterangan tertulisnya, Senin 15 Juni 2020.
Syafrin memaparkan lahirnya aturan ini juga cacat hukum karena mengabaikan UUD 1945 PASAL 33 ayat (2) dan ayat (3), kemudian UU Migas No. 22 tahun 2001 pasal 4, ayat(1) dan ayat(2), serta UU BUMN No.19 tahun 2003 PASAL 77 ayat(A) dan Ayat (D). "Maka SK tersebut batal demi Hukum," ujar Syafirin.
Selain itu, Syafirin menegaskan, pihaknya juga menolak statement yang mengatakan bahwa perubahan organisasi ini merupakan langkah efisiensi yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun Direksi Pertamina, karena adanya pengurangan jumlah direksi. Menurutnya, hal ini merupakan kebohongan publik.
"Nyatanya pada tataran sub holding banyak bermunculan AP-AP (Anak Perusahaan) yang tentunya akan menimbulkan biaya yang sangat besar," kata Syafrin.
Kemudian, SPPSI juga menolak rencana Go Public melalui initial public offering atau IPO, baik terhadap anak perusahaan maupun kegiatan bisnis lainnya. Karena, hal ini bertentangan dengan UUD '45 Pasal 33, sehingga membuka ruang bagi pemburu rente dan penguasaan migas oleh swasta nasional dan asing yang membuat kedaulatan migas terancam.
Terakhir, lanjut Syafirin, pihaknya juga protes keras ke Direksi Pertamina, karena mengabaikan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) khususnya Pasal 7 ayat (7) dan ayat (8). Dimana, dalam hal perusahaan melakukan perbuatan hukum berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, sebagaimana di maksud UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), maka mereka juga wajib memperhatikan kepentingan pekerja.
"Kami akan menjadikan ini sebagai Perselisihan Hubungan Industrial," ujarnya.