Utang Pemerintah Dinilai Telah Membahayakan Kedaulatan NKRI
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA – Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad menyoroti Utang Pemerintah yang bertambah Rp635 Triliun hanya dalam periode 48 hari, sejak 1 April sampai 18 Mei 2020. Diperkirakan masih akan terus bertambah, mengingat krisis kesehatan masih belum sepenuhnya terkendali, ia berharap penggunaan dana pinjaman tersebut tidak dikorupsi.
"Kita juga mempertanyakan Penyerapan anggaran kesehatan senilai 70 T dan Insentif untuk UMKM dan Pemulihan ekonomi senilai 270 T Apakah sepenuhnya sudah terserap dan bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Apakah sudah efektif, tepat sasaran serta mampu menggerakkan sektoril?," kata Kamrussamad, Selasa 19 Mei 2020.
Politisi Gerindra itu menilai, perubahan postur APBN yang dilakukan dua kali dalam satu bulan menunjukkan Menteri Keuangan Diragukan dalam memotret kondisi ekonomi dan menentukan indikator ekonomi Dalam merumuskan Kebijakan Fiskal. Padahal DPR Sudah ingatkan agar Pemerintah memiliki data yang terintegrasi sebagai basis Pengambilan keputusan supaya tidak premature dalam menyusun postur APBN.
"Ini Kenyataan yang Harus diterima Pelebaran defisit tanpa Batas Maksimal dalam Perppu 1/20 Pada akhirnya berpotensi membahayakan kedaulatan negara karena beban Utang Pemerintah sangat besar bahkan Melampaui Ratio Utang standar Internasional Yang di tetapkan sejumlah Lembaga Keuangan dunia seperti IMF," ujar Kamrussamad.
Legislator Dapil Jakarta ini menambahkan, indikator kerentanan utang pemerintah telah melampaui rekomendasi IMF dalam International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411. Rasio-rasio yang melampaui batas aman antara lain rasio debt service terhadap penerimaan, rasio bunga utang terhadap penerimaan, dan rasio utang terhadap penerimaan.
Selain mengindikasikan nominal utang yang terus bertumbuh, rasio ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan penerimaan pemerintah tidak bertumbuh seiring dengan bertambahnya utang pemerintah. "Meski PDB Indonesia terus bertumbuh dari tahun ke tahun, akan tetapi hal ini tidak diiringi oleh pertumbuhan tax ratio atau rasio pajak. Namun, kondisi yang terjadi adalah tax ratio terus konsisten turun," ucapnya.
Tax ratio yang pada 2015 mencapai 10,76 persen pada 2019 lalu justru turun ke angka 9,76 persen, padahal RPJMN 2015-2019 menargetkan tax ratio pada tahun lalu bisa naik hingga 16 persen. Artinya ada angka PDB tertentu yang tidak diperoleh pajaknya oleh negara.
"Kita mendorong perubahan struktural atas pengelolaan fiskal pemerintah, terutama pentingnya fiscal sustainability analysis (FSA) untuk segera disusun," kata dia.
Baca:Â Habib Bahar Kembali Ditahan, PA 212: Kriminalisasi Ulama Lagi