Din Syamsuddin: Iuran BPJS Naik Bentuk Kezaliman Nyata

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fikri Halim

VIVA – Kenaikan iuran BPJS Kesehatan terus menuai pro kontra. Salah satunya datang dari cendikiawan muslim Din Syamsuddin, ia menilai kenaikan iuran itu merupakan salah satu wujud sikap zalim pemimpin pada rakyatnya. 

Hadiri Tanwir I Pemuda Muhammadiyah, Ini Kata Gibran

Din menganggap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 dimana kenaikan iuran BPJS Kesehatan diatur merupakan hasil dari pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyatnya.

"Keputusan itu merupakan bentuk kezaliman yang nyata, dan lahir dari pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyat," kata Din dikutip dari VIVAnews, Jumat, 15 Mei 2020.

Wapres Gibran Sebut Kunci di Kabinet Merah Putih Ada di Muhammadiyah

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015, menilai dalam situasi pandemi COVID-19 ini rakyat berada dalam situasi sulit dan pemerintah seharusnya tidak menambahkan kesulitan itu. Mengingat perpres telah terbit, menurutnya tidak menjadi persoalan jika memang itu dicabut. Ia mendorong agar itu dibatalkan.

"Kita menuntut pemerintah untuk menarik kembali keputusannya, karena kalau dipaksakan maka rakyat dapat melakukan pengabaian sosial (social disobedience)," katanya. 

Supervisi Polri dan BPJS Kesehatan, Tingkatkan Kualitas Pelayanan di Fasilitas Kesehatan

Din juga menyoroti kondisi BPJS Kesehatan yang tengah memiliki hutang yang cukup banyak dan belum dibayarkan ke rumah sakit di Tanah Air. Bahkan hutang itu kini telah mencapai triliunan rupiah. Ia mengingat jangan sampai, justru uang rakyat itu digunakan untuk kepentingan lain seperti proyek infrastruktur.

"Ke mana uang rakyat selama ini? Jika benar uang itu dipakai untuk proyek infrastruktur, maka itu dapat dinilai sebagai bentuk penghianatan terhadap rakyat," tegasnya.

Diketahui, pada pasal 34 Perpres Nomor 64 tahun 2020 tersebut, mulanya disebutkan bahwa iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan sebesar Rp42 ribu sejak 1 Agustus 2019 bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI). Besaran itu disamakan untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) maupun Bukan Pekerja (BP) di ruang perawatan kelas III.

Namun, sepanjang 2020 ini, iuran akan disokong oleh Pemerintah Pusat sebesar Rp16.500 per orang per bulan sedangkan sisanya yakni Rp25.500 akan dibayar oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta.

Sementara itu, iuran bagian Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama peserta sebesar Rp25.500 per orang per bulan yang sebelumnya dibayarkan oleh Pemerintah Daerah akan dibayarkan oleh pemda.

Namun, mulai 2021, iuran mengalami perubahan skema, di mana iuran yang harus dibayarkan peserta sebesar Rp35 ribu sedangkan sisanya yakni Rp7 ribu dibayarkan pempus. Sedangkan untuk yang sebelumnya dibayarkan oleh daerah, Rp35 ribu bisa dibayarkan seluruhnya oleh pemda atau sebagiannya saja.

Bagi Peserta PBPU dan BP dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II yaitu sebesar Rp100.000 per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta. Sedangkan untuk manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I yaitu sebesar Rp150.000.

Meski demikian, perpres teranyar ini menetapkan bahwa skema dan besaran iuran yang baru tersebut akan mulai berlaku sejak 1 Juli 2020. Dalam hal Iuran yang telah dibayarkan oleh peserta PBPU dan Peserta BP melebihi ketentuan itu maka BPJS Kesehatan memperhitungkan kelebihan pembayaran iuran dengan pembayaran luran bulan berikutnya. 

Baca: Anies Sebut Pandemi COVID-19 Musibah Satu Abad Sekali

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya