Logo WARTAEKONOMI

Perusahaan Sekarat Dihantam Krismon, Ciputra Menangis di Kamar Mandi

Kala Ciputra di Ambang Kebangkrutan: Kapal Kami Telah Karam, Meski Belum Tenggelam. (FOTO: Sufri Yuliardi)
Kala Ciputra di Ambang Kebangkrutan: Kapal Kami Telah Karam, Meski Belum Tenggelam. (FOTO: Sufri Yuliardi)
Sumber :
  • wartaekonomi

Kabar meninggalnya Ir. Ciputra, pebisnis properti kebanggaan Indonesia meramaikan jagat raya. Sosoknya yang pekerja keras kembali dikenang oleh semua pihak.

Bukan perjalanan yang singkat untuk seorang Pak Cik, begitu ia biasa disapa, untuk meraih kesuksesannya. Untuk membangun sederet perusahaannya, yakni, Jaya Group, Ciputra Group, dan Metropolitan Group membutuhkan kerja ekstra. Bahkan, badai pun kerap datang untuk menenggelamkan ‘kapal’ kejayaan Ciputra.

Kala itu, saat Pak Cik berusia 60 tahun, ia memutuskan untuk pensiun dari Pembangunan Jaya lima tahun lagi. Memasuki tahun 1996, setelah mengemudikan Pembangunan Jaya, Ciputra resmi mundur dari kursi Direksi.

Genap setahun Ciputra undur diri, Pembangunan Jaya dan perusahaan-perusahaan lain milik Ciputra dihantam badai gelombang. Keadaan krisis mengancam perusahaannya yang bernaung di bawah grup Metropolitan Development dan grup Ciputra untuk bangkrut.

"Sebenarnya sejak 1997 saya sudah punya firasat. Persoalan ekonomi di Thailand, Korea Selatan, dan beberapa negara Asia pasti akan menyambar Indonesia," kata Ciputra, dikutip dalam buku biografinya, The Passion of My Life, "namun, saya berusaha optimistis.”

Sebelum badai menerap, kerajaan bisnis milik Ciputra tengah jaya-jayanya.

"Kami mengerjakan banyak proyek. Bahkan, sebagian perusahaan punya utang dolar dalam jumlah besar kepada bank asing. Tapi kami tak khawatir karena proyek-proyek kami disambut hangat masyarakat... Tidak mungkin kami tidak bisa membayar utang," yakin Ciputra.

Namun, keyakinannya tersebut meleset. Kala itu, rupiah dibabat habis oleh dolar Amerika Serikat. Dari semula nilai satu dolar hanya berkisar Rp2.000, kemudian naik menjadi Rp2.500, dan dalam waktu kurang dari setahun, nilai tukar dolar sudah melompat lebih dari lima kali lipat.

Maka dari itu, celakalah bagi perusahaan Indonesia yang memiliki utang besar dalam dolar. Tentu, utangnya akan melambung tinggi. Sama dengan perusahaan Ciputra. Perusahaan milik keluarga Ciputra ini punya utang hampir US$100 juta.

Alih-alih membaik, kondisi perekonomian malah makin buruk. Utang perusahaan-perusahaan Ciputra menggelembung, dan pada saat bersamaan, penjualan menukik tajam.

"Pada satu titik saya paham, kapal kami telah karam meski belum tenggelam," kata Ciputra, "secara logika, utang-utang kami akan sulit terbayar.”

Melihat semua perusahaan yang dia bangun dengan susah payah dalam kondisi sekarat dan harus memecat ribuan karyawannya, Ciputra yang biasanya keras dan disiplin, kala itu ia sangat terpukul.

"Di kamar tidur, di meja makan, bahkan saat saya mandi dengan air shower menyiram tubuh, saya berlinang air mata....Saya menangis tanpa saya sadari," kata Ciputra.

Hidup Ciputra dan keluarga kala itu penuh tekanan. Makan pun tak enak, tidur juga tak pernah nyenyak. Tekanan dari berbagai pihak selalu menghiasi kehidupannya.