Pro Kontra Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
- dw
Presiden Joko Widodo telah menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar dua kali lipat mulai 1 Januari 2020 mendatang. Kebijakan ini pun menjadi perdebatan dalam beberapa waktu terakhir. Banyak pro dan kontra seputar hal tersebut.
Tarif iuran kelas III dengan manfaat pelayanan di ruang kelas perawatan kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000 per bulan. Selain itu, iuran kelas mandiri II dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II naik dari Rp51.000 menjadi Rp110.000 per bulan. Sementara iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I naik dua kali lipat dari Rp80.000 menjadi Rp160.000 per bulan untuk tiap peserta.
Menanggapi ini, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Prof. Didik Rachbini, menyampaikan bahwa jaminan layanan kesehatan seperti BPJS Kesehatan harus tetap hadir bagi masyarakat Indonesia karena merupakan amanah langsung dari Undang-undang Dasar.
"Jika presiden mengurangi atau menghentikan dana desa, dana alokasi khusus, subsidi BUMN dengan nama PMN, atau mengurangi raskin, maka tidak ada delik khusus karena tidak ada secara eksplisit di dalam Undang-undang Dasar. Tetapi jika BPJS berhenti, presiden melanggar pasal 28H, ditambah lagi pasal yang memperkuat, yakni pasal 34 ayat 2," terang Didik dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia, Senin, 4 November 2019.
Didik prihatin dengan kondisi jaminan sosial dan kesehatan yang berlaku di Indonesia karena defisit yang kian membengkak. Di negara lain, menurut Didik, jaminan sosial dan kesehatan dapat diimplementasikan dengan baik.
"Padahal bisa mencontoh banyak negara lain, yang sudah menjalankan kebijakan jaminan sosial dan kesehatan ini sudah sampai satu abad lamanya. Kita baru saja menjalankannya tapi sudah bermasalah berat yang bisa membangkrutkan BPJS," tambahnya.
Didik berpendapat, golongan mampu tidak diperkenankan mendapat subsidi dari pemerintah, dan BPJS bisa menerapkan kebijakan dengan skema komersial bagi mereka. "Kelompok ini adalah golongan profesional akuntan, arsitek, dokter, pegawai negeri golongan atas, guru dengan tunjangan profesi yang tinggi, pegawai swasta dengan gaji tinggi. Skema komersial mesti dijalankan dan golongan kaya tidak boleh masuk skema subsidi sehingga BPJS bisa bernafas," jelasnya.