Cerita Warga RI Pilih Jadi Sopir Bus di Australia
- abc
"[Bekerja sebagai] sopir bus tidak mengikuti jam kerja kantor sehingga kami ada waktu untuk mengurus keperluan keluarga seperti mengantar anak atau orangtua ke dokter, menghadiri kegiatan sekolah anak di siang hari dan mengantar orangtua belanja."
Setelah melihat suami menjadi sopir bus selama tiga tahun lamanya, Rita yang kini sudah menjalani pekerjaan tersebut selama satu tahun tidak memiliki rencana untuk mencari pekerjaan lain.
"Kami saat ini tidak berpikir untuk pindah kerja setelah cukup lama bekerja di kantor saat di Indonesia," kata lulusan Sarjana Ekonomi Universitas Surabaya tahun 2002 itu kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Hal-hal yang membuat kami berpikir pekerjaan ini menyenangkan adalah [karena pekerjaan ini] santai. Pulang kerja tidak memikirkan tugas kantor yang menumpuk dan kalau bekerja lembur digaji."
Koki jadi sopir bus
Pandangan yang sama juga dimiliki oleh orang Indonesia asal Jakarta Charles Gultom yang bekerja di Melbourne dalam perusahaan transportasi bernama CDC Victoria juga sebagai sopir bus. Selama delapan tahun, Charles Gultom bekerja sebagai koki di restoran yang berbeda-beda.
Di awal tahun 2017, laki-laki berusia 49 tahun tersebut masih bekerja di dapur sebuah hotel bintang lima di Melbourne sebelum akhirnya memutuskan untuk melamar sebagai sopir bus di Juni 2017.
"Saya pindah kerja karena ingin mengurangi tekanan. Kerja di dapur tekanannya tinggi. Saya ingin cari pekerjaan baru yang lebih rileks. Kerja jadi sopir bus ini rileks, santai dan tidak begitu banyak beban."
Meski harus menjalani masa adaptasi selama dua bulan saat mulai bekerja, laki-laki yang pindah ke Selandia Baru bersama istrinya di tahun 2000 sebelum akhirnya menetap di Australia itu tidak menyesal meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai koki.