Hukum Alam Bisa Bikin Orang Berhenti Merokok
VIVA – Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan (Riskesdas Kemenkes) 2013 menyebutkan saat ini Indonesia menghadapi ancaman serius lantaran meningkatnya jumlah perokok, di mana prevalensi perokok laki-laki adalah yang tertinggi di dunia.
Kemudian, pada Riskesdas 2018, menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi merokok terlihat lebih besar pada kelompok anak-anak dan remaja, yakni 10 sampai 18 tahun, dari 7,2 persen di 2013 menjadi 9,1 persen.
Hal ini juga diperkuat oleh Global Cancer Observatory (Globocan) 2018, yang menyatakan angka kejadian tertinggi di Indonesia untuk laki laki adalah kanker paru yakni sebesar 19,4 per 100 ribu penduduk, dengan rata-rata kematian 10,9 per 100 ribu penduduk.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut rokok mengakibatkan lebih dari 7 juta kematian dan kerugian ekonomi sebesar US$1,4 triliun (lebih dari Rp19 ribu triliun) setiap tahunnya, dihitung dari biaya perawatan dan hilangnya produktivitas karena kehilangan hari kerja.
Dua tahun tidak naik
Pemerintah pun menargetkan menurunkan prevalensi perokok pada tahun ini menjadi 5,4 persen. Salah satunya menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok di atas 10 persen pada 2020. Harga rokok pun siap-siap melambung.
Hal ini dilakukan karena adanya kesepakatan pemerintah dan Badan Anggaran DPR soal pertumbuhan penerimaan dari CHT pada 2020 sebesar 9 persen, atau naik dari usulan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan sebelumnya yang sebesar 8,2 persen.
Terakhir kali pemerintah menaikkan cukai rokok pada 2017. Saat itu kenaikannya sebesar 10,04 persen, atau lebih kecil dibandingkan kenaikan cukai rokok di 2016, yakni 11,19 persen. Tahun lalu dan sekarang, pemerintah tidak menaikkan cukai rokok.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, mengatakan kenaikan target penerimaan tentunya harus diiringi dengan kenaikan cukai rokok.
Karena, akan berkontribusi langsung kepada persentase pertumbuhan penerimaan nantinya.
"Yang pasti akan ada kenaikan. Angka belum ditetapkan tapi dengan naiknya target penerimaan akan berdampak pada kenaikan tarif," kata Heru, seperti dikutip dari VIVAnews. Kenaikan cukai rokok ini akan ditetapkan nantinya dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Di mata pakar ekonomi Candra Fajri Ananda, kenaikan cukai rokok perlu dilihat dari banyak aspek. Artinya, bukan hanya sisi penerimaan negara tapi juga harus memperhatikan faktor turunannya apabila kebijakan tersebut akhirnya dijalankan.
"Bukan cuma dari unsur kesehatan saja. Tapi, tenaga kerja, pendapatan asli daerah dan pemerintah daerah," kata dia di Jakarta, Kamis, 12 September 2019. Candra mendukung sistem penarikan cukai rokok yang terdiri 10 tier menurut PMK 156/2018. Ia berharap target penerimaan cukai tercapai lewat sistem ini.
Contohlah Eropa
Dengan sistem yang sekarang, hingga Juli 2019, target cukai tembakau dari Rp159 triliun sudah tercapai Rp130 triliun. Lalu, target di tahun depan yang sekitar Rp170 triliun, diperkirakan Candra bakal tercapai.
"Sistem yang sudah baik ini tidak perlu diubah lagi. Kan, targetnya sudah mendekati 100 persen," ungkapnya. Candra justru khawatir jika sistem penarikan cukai rokok yang sudah baik ini diubah melalui mekanisme penyederhanaan (simplifikasi), dari 10 tier menjadi 5 tier, akan terjadi pengelompokkan.
Semula pabrik rokok kecil membayar pajak atau cukainya kecil sesuai jumlah produksinya, akan dikelompokkan ke dalam grup yang ada di atasnya. Akibatnya, pabrik rokok kecil harus membayar cukai yang lebih banyak di luar jumlah produksi dan di luar kemampuannya.
Candra mencontohkan negara negara di Eropa, di mana saat ini jumlah perokok di Benua Biru menurun drastis.
"Apakah pemerintah negara negara Eropa mengeluarkan kebijakan yang menghentikan dan mematikan industri dan pabrik rokok? Kan tidak. Berjalan saja. Biarkan pabrik dan industri rokok berjalan, tapi kampanye kesehatan digalakkan. Hukum dan peraturan ditegakkan. Nanti akan mengikuti hukum alam," tegas dia.
Pernyataan berbeda diungkapkan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Menurut Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, PMK 156/2018 sebagai revisi PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau justru menciptakan celah.
Ia mengatakan, celah yang dimaksud adalah membuat pabrikan rokok besar yang didominasi asing membayar tarif cukai murah, sehingga penerimaan negara tidak optimal.
"Ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok, di mana terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi sigaret kretek mesin (SKM) atau Sigaret Putih Mesin (SPM) tiga miliar batang. Jumlah ini adalah batas minimal produksi, agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1)," ungkap Tauhid.
Berdasarkan riset INDEF terhadap data produksi April 2019, menunjukkan bahwa potensi kehilangan pendapatan negara akibat pabrikan rokok besar membayar cukai rokok murah mencapai Rp926 miliar.