Indonesia jadi 'Disneyland' Industri Rokok
- abc
Sikap pemerintah Indonesia yang bertolak belakang antara industri rokok kretek dan rokok elektronik (vape) membuat penanganan dampak negatif rokok semakin kompleks.
Menjumpai anak sekolah dasar menghisap rokok, bukanlah pemandangan yang asing ditemui di daerah pedesaan di Indonesia.
Itu hanya satu gambaran kecil dari epidemi rokok di mana hampir 70 persen dari semua pria dan satu dari lima anak berusia antara 13 dan 15 tahun merokok. Hal ini menurut data resmi pemerintah.
Indonesia memiliki salah satu tingkat merokok tertinggi di dunia dan industri tembakau yang terus berkembang di saat jumlah perokok di dunia justru menunjukan tren penurunan.
Walaupun usia minimum untuk merokok di Indonesia adalah 18 tahun namun pengawasan mengenai aturan itu tidaklah seragam di berbagai tempat, terutama di kawasan yang lebih kurang penduduknya.
Di berbagai daerah anak-anak dapat membeli sebatang rokok dari kios pinggir jalan hanya dengan beberapa ribu rupiah saja.
Kecanduan nasional masyarakat Indonesia terhadap tembakau tidak hanya didorong oleh ketersediaan dan keterjangkauannya, tetapi juga karena peran penting yang dimainkannya dalam perekonomian negara.
Jadi sementara merokok tetap menjadi penyebab utama kematian yang dapat dicegah di Indonesia,sejumlah analis mengatakan menindak industri ini adalah "pedang bermata dua".
Beban kesehatan akibat rokok Industri tembakau di Indonesia mempekerjakan ratusan ribu pekerja.
Tribunnews: Bukbis Candra Ismet Bey
Mohammed Faisal, direktur eksekutif lembaga pemikir Center Reformasi Ekonomi Indonesia, mengatakan kepada ABC tembakau secara historis menjadi salah satu industri nasional terbesar di Indonesia, dengan rokok kretek sudah lama dilihat sebagai bagian dari budaya Indonesia.
Kementerian Perindustrian mencatat pada tahun lalu, cukai rokok memberikan kontribusi Rp153 triliun, hampir 96 persen dari total cukai nasional, atau setara dengan 10 persen dari total pendapatan pemerintah.
Kegemaran masyarakat Indonesia dengan rokok kretek sudah berlangsung sejak puluhan tahun.
Tribunnews: Direktur Jenderal Bea dan Cukai
"Ada konglomerat tembakau yang sangat kaya yang memiliki kemampuan mempengaruhi sistem politik, terutama di daerah yang bergantung pada industri ini," katanya.
Namun, pendapatan yang dihasilkan dari cukai rokok ini sebenarnya sangat kecil jika dibandingkan dengan besarnya biaya krisis kesehatan warga yang disebabkan oleh perilaku merokok.
Menurut Kementerian Kesehatan, kerugian nasional akibat konsumsi rokok pada 2015 mencapai hampir Rp600 triliun atau empat kali lebih banyak dari jumlah cukai rokok pada tahun yang sama,.
Akan tetapi, Faisal mengatakan bahwa keruntuhan industri ini akan memiliki konsekuensi yang merusak dan dampak yang besar pada banyak lapisan masyarakat Indonesia.
"Ini pedang bermata dua ... meskipun biaya [kesehatan masyarakat] yang besar, itu adalah kontributor besar bagi pendapatan nasional melalui pajak," katanya.
Penumpasan rokok elektronik Vaping telah menjadi alternatif populer di kota-kota besar.
ABC News: Adam Harvey
Pemerintah Indonesia telah mengambil pendekatan berbeda terhadap rokok elektronik, yang lebih dikenal dengan e-rokok atau vape, dengan menerapkan pajak 57 persen lebih tinggi untuk tembakau cair.
Vape telah menjadi alternatif populer bagi warga muda Indonesia, dengan kafe-kafe rokok elektronik bermunculan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Denpasar, dan Bandung.
Kantor Bea dan Cukai Indonesia memperkirakan ada 300 pembuat cairan di Indonesia, yang memproduksi berbagai produk cairan untuk rokok elektronik ke lebih dari 4 ribu toko vape dan 900 ribu perokok.
Walau jumlah ini tiap tahun terus meningkat, jumlanya masih kalah jauh dari sekitar 60 juta perokok biasa di negara ini.
Beberapa kalangan mempertanyakan mengapa industri rokok tidak menerima perlakuan yang sama.
Abdillah Ahsan, pakar ekonomi dan politik tembakau dari Universitas Indonesia, mengatakan kepada ABC bahwa kenaikan pajak rokok telah menjadi masalah yang diperdebatkan di negara ini karena biaya ekonomi, budaya dan politik.
Pajak atas cairan vaping dinaikkan menjadi 57 persen pada 2018.
ABC News: Adam Harvey
"Siklus politik Indonesia membuat sulit untuk melihat dampak jangka panjang dan biaya ekonomi rokok, sebaliknya memprioritaskan keuntungan ekonomi tahunan," kata Ahsan.
Singkatnya, pendapatan Philip Morris Indonesia tahun lalu adalah Rp107 triliun setara dengan total anggaran kesehatan negara.
"Disneyland industri tembakau" Iklan rokok ada di mana-mana di Indonesia.
ABC News: Ari Wu
Rokok juga merupakan penyumbang kemiskinan terbesar kedua, menurut angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik pada Juli 2019.
Namun, Indonesia adalah satu dari delapan negara di dunia yang belum menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Organisasi Kesehatan Dunia tentang Pengendalian Tembakau, yang mencakup pembatasan pada perusahaan tembakau kelompok lobi dan penjualan kepada anak-anak.
Aturan yang masih sangat menguntungkan industri rokok ini membuat kelompok advokasi anti-rokok pernah menjuluki Indonesia sebagai "Disneyland industri tembakau ".
Rokok adalah penyumbang kemiskinan terbesar kedua, menurut biro statistik.
Tempo: Ranumata Aziz
Indonesia juga satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih mengizinkan iklan tembakau langsung di televisi dengan hanya pembatasan larangan iklan radio dan televisi pada siang hari.
Generasi muda negara ini terpapar iklan rokok di toko, papan iklan, dan internet, serta melalui sponsor untuk konser musik, liga olahraga, dan acara.
Perusahaan tembakau terbesar di Indonesia, Sampoerna, yang dimiliki oleh Philip Morris International, juga telah mengembangkan jalur pendidikannya sendiri untuk mendukung sekolah-sekolah yang kurang mampu dan menyediakan upaya bantuan bencana.
Sementara Djarum, perusahaan tembakau terbesar ketiga, mensponsori liga bulutangkis nasional dan telah mendirikan akademi pelatihan olahraga untuk kaum muda.
Indonesia adalah satu-satunya negara Asia yang belum menandatangani Konvensi Kerangka Kerja WHO tentang Pengendalian Tembakau.
Detik: Rachman Haryanto
Namun, Dr Ahsan mengatakan upaya ini adalah "kamuflase".
"Banyak orang Indonesia datang dari latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan karenanya mudah dipengaruhi oleh "permen manis" yang ditawarkan perusahaan tembakau kepada mereka," kata Dr Ahsan.
"Tembakau besar memberikan bantuan keuangan tetapi itu semua hanya kamuflase ... sumbangan harus dibayar kembali dengan kesehatan dan kehidupan mereka."
Lihat artikelnya dalam bahasa Inggris dihsini