Iuran BPJS Naik, Tunggakan Peserta Mandiri Diprediksi Bengkak
- bbc
Kenaikan iuran kepersertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan disebut belum cukup menutup defisit anggaran yang terus membengkak.
Sebab kenaikan tersebut akan membuat peserta dari kelompok mandiri menunggak membayar. Karena itu pemerintah disarankan menimbang ulang besaran kenaikan iuran yang diusulkan sebesar 100 persen.
Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, menyebut kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan sudah final dan tinggal menunggu Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum. Kenaikan iuran BPJS itu sebelumnya disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX dan Komisi XI DPR di Jakarta pada Selasa, 27 Agustus 2019.
Dikatakan, besaran kenaikan iuran tersebut mencapai 100 persen. Langkah ini ditempuh demi memangkas potensi defisit Rp32,8 triliun pada tahun ini.
Namun demikian, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan, kelompok yang paling terdampak dengan kenaikan ini adalah kelompok Mandiri yang berjumlah 32 juta orang, sementara tingkat kepatuhan pembayaran kelompok ini hanya 54 persen.
Dengan kondisi seperti itu, menurutnya, target yang dipasang Kementerian Keuangan takkan tercapai. Perkiraan Timboel, tunggakan dari peserta mandiri justru kian membengkak hingga 75 persen.
"Kalau naiknya signifikan, akan tinggi tunggakannya. Soalnya ini bicara bukan satu orang, tapi kan satu keluarga. Kalau satu keluarga lima orang, mereka pasti mikir-mikir. Pilihannya mungkin turun kelas. Kalaupun harus dirawat, mereka bisa pakai Permenkes 51, yaitu membayar selisih dengan uang sendiri ke pihak rumah sakit," ujar Timboel Siregar kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis, 29 Agustus 2019.
Menurut data BPJS Kesehatan saat ini, iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang jumlahnya 133 juta orang sebesar Rp32.000. Sementara iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah atau Mandiri terdiri dari tiga kelas. Kelas I sebesar Rp80.000, Kelas II Rp51.000, dan Kelas III Rp25.500.
Besaran iuran itu, tak naik sejak 2016 dan dianggap menjadi salah satu penyebab defisit. Namun begitu, Timboel, setuju dengan keputusan pemerintah menaikkan iuran, kendati besarannya di kisaran 20-30 persen. Ini demi menjaga kepatuhan peserta membayar kewajibannya.
"Kenaikan harus sejalan dengan perbaikan pelayanan. Itu harus. Sehingga kalau iuran naik, enggak jadi masalah bagi peserta. Kalau ada trust itu dari peserta, pasti enggak masalah iuran naik," tukasnya.
"Jadi artinya persoalan pelayanan harus ditingkatkan."
Selain menaikkan iuran, Timboel juga menyarankan BPJS Kesehatan menambah kasnya dengan mengejar angka kepesertaan dari Pekerja Penerima Upah (PPU) Badan Usaha yang jumlahnya sekitar empat juta orang.
Dalam hitungannya, jika mereka aktif membayar, BPJS Kesehatan mendapat dana segar sebesar Rp8 triliun.
"Saya hitung, jika satu juta kenaikan peserta saja akan berkontribusi Rp1,9 triliun. kalau naikin peserta empat juta, bisa dapat Rp8 triliun. Sebab PPU itu pasti bayar. Nah ini kepesertaan yang harus didorong dengan penegakan hukum," jelasnya.
"Kalau ada perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya, maka kejaksaan atau pengawas ketenagakerjaan yang akan bertindak."
Juru bicara BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma`ruf, mengatakan kenaikan iuran ini akan diberlakukan tahun depan dan diklaim manjur mengatasi persoalan defisit anggaran yang terjadi saban tahun.
"Tunggaran itu kan menjadi tanggung jawab BPJS. Makanya dilakukan penyesuaian iuran. Sebab kalau dari pengalaman kami dari tahun ke tahun, iuran ini yang bermasalah. Meskipun 100 persen peserta membayar, juga tidak cukup membiayai program ini," ujar Iqbal kepada BBC News Indonesia, Kamis, 29 Agustus 2019.
Iqbal juga meyakini, besaran kenaikan iuran telah mempertimbangkan kemampuan keuangan peserta BPJS Kesehatan. Meskipun ia mengaku tidak mengetahui detail kajian yang dilakukan Kemenkeu dalam menentukan kenaikan iuran tersebut.
Kata dia, BPJS Kesehatan telah mempercayakan hal itu sepenuhnya pada Menteri Keuangan.
"Kalau perspektif kami, kami yakin Kemenkeu sudah berhati-hati menetapkan besaran iuran. Lagipula ini kan maunya menjadi policy jangka panjang, sehingga iuran disesuaikan," sambungnya.
"Kami yakin karena proses (menaikkan iuran) itu tidak sehari atau dua hari. Sehingga kesimpulan dilakukan penyesuaian iuran."
"Kami juga tidak dalam arus setuju atau menolak (usulan iuran). Kami sebagai penyelenggara menerima saja apa yang ditetapkan pemerintah."
Harapan IDI
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia untuk Pengembangan Pembiayaan Kesehatan JKN, Noor Arida Sofiana, mengatakan selain menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan, pemerintah perlu mempertimbangan untuk menaikkan tarif kapitasi atau biaya jasa medis yang dibayarkan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau layanan primer.
Pasalnya, sejak BPJS Kesehatan diberlakukan pada 2014, tidak pernah ada kenaikan tarif kapitasi. Jika hal itu tidak dipertimbangkan, maka akan berdampak pada mutu layanan tenaga kesehatan.
"Saat ini kapitasi belum naik dan masih di bawah standar dan harus dinaikkan. Karena antara pembayaran dengan pemanfataan harus balance . Jangan sampai premi kecil, tapi manfaat yang di- cover tidak sesuai," ujar Noor Arida Sofiana.
"Kalau kami dokter, tentunya harus memberikan pelayanan dengan standar dan berorientasi pada keselamatan pasien. Itu yang kami jaga. Fasilitas sarana dan prasarana juga mendukung tugas dokter. Tapi harus didukung pembiayaan yang cukup," sambungnya.
Kata dia, tarif kapitasi yang saat ini di rentang Rp6.000-Rp10.000 per pasien terlampau kecil. Belum lagi jika terjadi keterlambatan pembayaran klaim, akan berdampak pada kualitas pelayanan seperti kehabisan obat.
Usulan kenaikan tersebut, kata Arida, sudah berkali-kali disampaikan ke pemerintah namun belum dikabulkan.
"Dalam diskusi publik maupun pertemuan dengan pemangku kebijakan, kami mendorong pembenahan tarif kapitasi. Karena iuran naik tapi tarif enggak naik, sama saja tidak ada solusi."
"Justru dengan kenaikan tarif ini, pelayanan juga naik. Jadi imbang," katanya.